Selasa, 30 April 2013

Cerita Seorang Mahasiswa 'Kuning-Biru'

Akhir-akhir ini aku sering memikirkan suatu hal yang menurutku sebenarnya sangat substansial bagi seorang mahasiswa. Obrolan beberapa waktu lalu dengan seorang sahabat membahas hal-hal berisu politik, birokrat, kebijakan dan sebagainya. Hal yang selama ini mungkin sudah jarang kupikirkan, bersikap apatis atau termakan kebijakan dan permainan para birokrat untuk mematikan kehidupan mahasiswa yang dinamis, bebas, liberal, idealis. Punya prinsip! Tapi, kenapa aku tidak merasakan itu, setidaknya setelah 3 tahun aku duduk di bangku yang dielu-elukan oleh masyarakat Indonesia di akhir tahun 90-an. Menjadi seorang yang memiliki beban tri-dharma perguruan tinggi. Konsep yang sangat agung yang seharusnya menjadi acuan dan patokan bagi para pendidik di institusi ini untuk membentuk kami, atau setidaknya mengarahkan untuk mengikuti konsep yang sangat agung itu. Bayangkan saja, pemuda berusia 20 tahun-an diberikan beban soal pendidikan, riset, dan pengabdian masyarakat. Tapi kini aku berpikir, apakah memang konsep itu agung? atau kami, mahasiswa diarahkan untuk menjadi alat di pemerintahan ini untuk melakukan hal-hal kasar yang cenderung dalam ke permasalahan di negeri ini. Mengurusi pengabdian di masyarakat? bukankah hal itu terlalu besar untuk dibebankan kepada seorang mahasiswa? Maksudku, bukan bersikap pesimis dan seakan-akan menjadi takut untuk bersikap pragmatis. Namun, mahasiswa memiliki batasan untuk melakukan suatu pengabdian yang besar. Atau memang dibatasi? Lalu kalau memang dibatasi, apa tujuannya itu menjadi salah satu poin penting di tri-dharma perguruan tinggi?

Mahasiswa di kampusku, seakan sudah tidak lagi peduli menyoal hal yang fundamental, maksudku kita berbicara mengenai sistem, peraturan, mekanisme, sumber daya. Aku sadar, masih banyak mahasiswa yang idealis, bergerak secara bergerilya dengan paham 'talk less, do more'. Itu konsep iklan yang menurutku tidak harus dipraktikkan di setiap unsur kehidupan. Apalagi, kami mahasiswa kuning-biru yang menurut idealku dibentuk (seharusnya) menjadi kaum aktivis, memiliki pemikiran secara holistik, menyeluruh, mengakar ke berbagai aspek. Tidak lagi, bergerak membabi buta, yang justru tidak memberikan dampak besar bagi obyek sasaran. Menjadi seorang praktisi, kalah. Menjadi seorang akademisi, tidak memiliki bakti kepada civitas akademika. Ya jadi, menurutku kami memang dibentuk seharusnya menjadi seorang aktivis, memiliki kecakapan berbicara yang melebihi rata-rata, kemampuan soft skill dalam melobi birokrat, berkomplot untuk merubah sistem dan budaya yang buruk. Aku takut, kita sudah terlalu letih untuk menyadari bahwa kita selama ini hanya diam. Jika aku berkaca pada pendahuluku, angkatan 80-an yang kuanggap sebagai angkatan inspirasi, angkatan 60-an sampai 70-an sebagai angkatan pembuat, dan angkatan 90-an sebagai angkatan pendobrak, memiliki tekad dan nekat yang tentu tidak kecil.

Kekuatan kampus ku memang terpecah-pecah. Pejabat mahasiswa yang menurutku melempem dan kumpulan orang-orang yang sama. Tidak dinamis, tidak lagi idealis. Penuh politik kampus yang menjijikkan. Sudah seperti negeri ini, yang berada di dalam lubang lingkaran tikus yang tak berujung. Oposisi seperti LSM di kampus menjadi pengatur ritme dinamisasi kemahasiswaan. Aku benci hal yang teratur, stagnan, diam, klise, tak penuh gairah! Aku suka pertengkaran-pertengkaran dikalangnan mahasiswa, membuat lingkungan ini hidup. Ada yang berbeda di antara kita, dan saat itu adalah prinsipil, wajar jika harus beradu urat dan otot untuk mempertahankannya. Kalau seperti ini terus, diam, membuat orang diam dan tak mau menyuarakan ego nya membuat kita memang dibentuk dan diajarkan untuk mengakali dan membunuh karakter-karakter yang tidak sama dengan mayoritas di lingkungan kita. Tidak ada toleransi. Toleransi yang menuntut empati, omong kosong untuk berempati kepada tiap individu di negeri ini. Negeri mahasiswa kuning-biru.

Beberapa waktu lalu, aku menjadi sedikit akrab kepada teman lama yang dulu tidak terlalu saling kenal baik. Dia orang yang hebat, menginspirasi, berapi-api seperti sahabatku di Jogja. Aku yang sangat terpengaruh oleh lingkungan menjadi berapi-api pula. Seorang sosok mahasiswa yang idealis, produktif, namun tetap menjadi orang yang memiliki semangat juang untuk berkembang dan berbakti tinggi. Sosok yang tidak aku lihat di negeri kuning-biru ini. Atau memang, aku yang terkungkung dalam tempurung ini sehingga tidak melihat keluar. Tapi aku tetap berasumsi dan membuat hipotesa bahwa kini, mahasiswa kehilangan gairah hidup dan juangnya. Bahwa tidak ada lagi tri-dharma perguruan tinggi yang diagungkan itu dijalankan. Setidaknya salah satu dari tiga itu.