Sabtu, 21 Desember 2013

Brigade 04: Sebuah satuan aksi mahasiswa teknik, atau hanya isapan jempol belaka?

 Brigade merupakan suatu kesatuan aksi mahasiswa yang memiliki ruang gerak di UI. Tugasnya menjadi pusat gerak dari mahasiswa UI dalam menanggapi isu-isu kampus, nasional, regional, atau bahkan internasional. Kesatuan ini sebenarnya (khususnya di FTUI) berawal dari nama Teknik Ranger. Itu adalah ujar dari seorang alumni masa awal pergerakan mahasiswa tahun 60-70an. Teknik Ranger ini berkoordinasi dengan kesatuan aksi yang ada di lingkup kampus di Indonesia, Jakarta khususnya. Menurut Aswil Nazir, Teknik Ranger bermula atas gagasan salah satu mahasiswa Teknik Mesin tahun 64, Bang Ide Safridin Rahman[1]. Pada era itu, masa orde lama. Isu mengenai gerakan partai komunis mulai menyeruak ke masyarakat. Berdasarkan artikel-artikel sejarah ada kaitannya dengan konspirasi Amerika, dalam usahanya menjauhkan Indonesia yang meruapakan potensi kerja sama ekonomi penting dengan Uni Soviet (Rusia saat ini). Amerika tidak mau Indonesia bergerak lebih condong ke arah Uni Soviet karena akan membuat penguasaan daerah Asia-Pasifik menjadi sulit. Hal ini membuat Amerika, CIA khususnya membuat suatu penyebaran isu dan 'permainan propaganda' untuk menghancurkan pengaruh komunis di Indonesia.

Pada jaman orde lama, Soekarno sangat dekat hubungannya dengan pejabat Uni Soviet Hal ini dibuktikan dengan adanya bentuk kerja sama penjualan kapal perang canggih[2] (KRI Ratulangi) yang hanya mampu diproduksi Uni Soviet saat itu ke Indonesia, yang nantinya digunakan pada operasi Trikora untuk membebaskan Irian Barat dari pengaruh Belanda. Beberapa pejabat dari kalangan militer digerakkan oleh sekelompok golongan untuk mulai menghancurkan era Soekarno. Dimulai dengan penekanan kepada Presiden Soekarno menandatangani surat Super Semar[3] yang konon katanya dengan menodongkan pistol[4]. Bahkan menurut majalah Tempo, keberadaan surat Super Semar itu hingga kini masih rancu (keasliannya menurut ANRI) dan isinyapun rancu. Yang jelas, setelah kejadian itu membuat Soeharto dan militer menjadi memiliki kuasa lebih hingga sampai beliau mampu menunggangi kursi kepresidenan menggantikan Soekarno. Pergerakan mahasiswa saat itu dimulai dari pergerakan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang kemudian disusul dengan bergabungnya kesatuan aksi lainnya seperti KAPI, KAPPI, dan lainnya setelah kejadian Gestapu 30/S atau G30/S PKI.
                                               Sumber: satya-kumara.blogspot.com

Wacana pendirian Teknik Rangers sesungguhnya telah dimulai sejak pecahnya pemberontakan Gestapu PKI di tahun 1965. Pada masa tersebut mahasiswa UI mulai turun ke jalan dan sejumlah aktifis termasuk mahsiswa FT sudah tidak pernah lagi pulang ke rumah. Mereka bercokol dan bertahan di kampus (fakultas kedokteran) untuk menyikapi situasi yang tidak menentu. Aktifis mahasiswa FT pun bergabung dengan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang belakangan menjadi salah satu penggerak utama gerakan mahasiswa. Ketika Lasykar Ampera terbentuk, mahasiswa FT merasa terpanggil untuk ikut bergabung. Lasykar Ampera terdiri dari inti-inti (ibarat kompi-kompi di dunia militer). Kelompok mahasiswa FH dinamai INTI VIII, dan FT dinamai INTI IX. Pembentukan lasykar konon adalah agar perjuangan mahasiswa saat itu lebih terkoordinir dan tidak liar. Belakangan kelompok mahasiswa Teknik (INTI 9) diberi julukan Teknik Rangers dengan komandannya yang terplilih Ide S.R. (M’64).[5]

Memang sudah sejak awal, mahasiswa Teknik turut mengambil alih dalam mengawal isu-isu nasional yang tidak sedikit menjadi momentum krusial bagi perkembangan dan sejarah Indonesia. Mahasiswa Teknik memang bergerak secara bringas, berani dan tanpa muatan politik dari golongan tertentu yang trendnya kini memboncengi pergerakan mahasiswa untuk membentuk opini publik. Seperti misalnya pada era orde baru, mahasiswa Teknik menurut penuturan beberapa alumni era 90-an akhir menjadi garda terdepan dan barisan pengawal demonstrasi mahasiswa UI ke gedung 'terhormat' DPR, hingga mampu menduduki gedung kembar itu yang membuat presiden Soeharto mundur dari jabatannya sebagai presiden Indonesia setelah mempimpin selama 32 tahun lamanya. Mahasiswa Teknik tidak saja aktif dan rekatif terhadap isu-isu energi dan teknologi yang kini banyak digandrungi mahasiswa. Tapi seperti kata orang besar dulu, "Jangan sekali-kali melupakan sejarah", atau lebih dikenal dengan jas merah. Maka sudah selaiknya mahasiswa FTUI juga ikut pro-aktif dalam pengawalan isu-isu politik. Politik itu tidaklah kotor, seperti kata Bung Hatta. Kebanyak orang di dalamnya lah yang membuat politik menjadi kotor. Bahwa pada hakekatnya, politik itu suci yang ditujukan kepada kepentingan negara dan rakyatnya. Mengutip perkataan bapak Wagub Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, "Orang yang bersih dan jujur memiliki setengah dosa bila tidak mau terjun dalam politik. Maka politik sekarang ya isinya orang-orang kotor.", ujarnya dalam salah satu acara talk show di televisi swasta nasional. Memang benar, dan apakah sebagian dosa itu adalah milik mahasiswa FTUI yang hanya tinggal diam saja, sibuk mengurusi dirinya sendiri yang juga tak kunjung membaik. Sudah saatnya mahasiswa FTUI kembali membenahi diri, menjadi mahasiswa yang aktif dan pro-aktif dalam kegiatan politik baik kampus, maupun nasional.

Mahasiswa FTUI sudah kalah dibanding dengan mahasiswa rumpun sosial yang mendapat pelajaran dan ilmu tentang isu sosial dan bagaimana menanggapinya dengan paham-paham serta teori yang ada dari para pakarnya. Tapi mahasiswa Teknik punya suara bung. Sebagaimana sudah dijelaskan, kelebihan kita adalah bergerak dengan bebas untuk mengawal isu-isu yang ada. Tanpa muatan politik dari golongan tertentu. Kembali ke ranah pergerakan internal fakultas, lalu pertanyaannya dimana posisi Brigade 04 sebagai metamorfosis modern dari Teknik Ranger yang telah dengan brilian dan beraninya dicetuskan oleh para alumni pendahulu kita. Redupnya pengaruh dan suara Teknik di kancah kemahasiswaan universitas seakan menjadi tanda bahwa Brigade 04 sudah lapuk. Entah dimakan usia atau memang tidak ada lagi urgensitas serta gairah dalam mendinamisasi kehidupan kemahasiswaan agar tidak tinggal diam saja melihat ketidakadilan dan kesalahan para petinggi negeri ini. Pembahasan isu yang seharusnya berada di tangan Brigade 04 hanya menjadi isapan jempol belaka. Setidaknya, tidak ada yang dirasakan mahasiswa teknik secara langsung. Pada isu terakhir soal jalannya PEMIRA UI yang dinilai kacau pun, Brigade 04 dirasa terlambat dalam mengawalnya. Sampai bisa menjadi carut-marut dengan sederetan aksi vandalisme mahasiswa-mahasiswa yang katanya menuntut keadilan DPM UI. Apakah di sini tidak ada kaitannya dengan Teknik? Memang, hal itu bukanlah tanggung jawab mahasiswa secara langsung. Namun itu pandangan para orang apatis yang melakukan pembenaran, bahwa tugas utama mahsiswa adalah kuliah, menuntut ilmu setinggi-tingginya. Lalu apa? Padahal trend mahasiswa sekarang berbondong-bondong kerja di perusahaan multi nasional milik asing yang terus menerus menggerus kekayaan alam nasional. Bukan sok idealis, tapi mumpung menjadi mahasiswa yang masih bisa idealis tanpa ada tanggungan yang harus membuat kita menjadi realistis alangkah lebih baiknya kita tidak menjadi mahasiswa yang seadanya, atau bahkan diada-ada.

Sudahlah, lupakan soal isu pembinaan milik kaum eksekutif yang dirasa eksklusif itu. Bagi porsi mahasiswa teknik yang jumlahnya hampir tiga ribu ini. Bangkitkan kembali taring Brigade 04. Mengawal isu-isu nasional dan energi atas dasar basis anak teknik. Masih banyak dibelakang sana (baca:kantek belakang) yang peduli akan dinamisasi kemahasiswaan. Bagi para eksekutif baru, jangan tutup mata. Berhentilah bergaul dengan para birokrat-birokrat kemahasiswaan saja. Akankah potensi anak Teknik menjadi sia-sia dan tidak tersalurkan? Bahwa kalian harus sadari, posisi oposisi di dalam suatu tatanan negara (IKM FTUI dilambangkan sebagai negara yang independen) sangat penting sebagai mirror on the wall. Sebagai salah satu fungsi untuk kalian berkaca dan berbenah diri. Kini sudah era informasi yang berkuasa. Melakukan propaganda sebagai bentuk aksi juga sangat mudah, tinggal bagaimana membuat Teknik menjadi SOLID untuk bisa bergerak secara masif dan mempunyai sikap dan suara di luar. Teruskan prestasi akademik di bidang teknologi dan penelitian, buktikan bahwa pemikiran-pemikiran anak teknik sangat aplikatif di negara ini. Untuk itu, kita harus menyadarkan kepada para mahasiswa untuk melihat realita yang ada. Turun ke lapangan, lihat realita masyarakat yang ada laiknya perintah Tri Dharma Perguruan Tinggi.­ K-286-11


[1] http://aswilblog.wordpress.com/2010/04/27/sekilas-tentang-tentang-teknik-rangers-ftui/. Hasil wawancara pada tanggal 27 Desember 2008 di kediaman Ide S. R.
[2] http://indomiliter.com/2012/01/25/kri-ratulangi-induk-semangnya-kapal-selam-tni-al/
[3] Lisa Pease. “JFK, Indonesia, CIA and Freeport“. Maret 1996
[4] Walentina Waluyanti. "Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen". 2013: Netherland
[5] http://aswilblog.wordpress.com/2010/04/27/sekilas-tentang-tentang-teknik-rangers-ftui/. Hasil wawancara pada tanggal 27 Desember 2008 di kediaman Ide S. R.

Kamis, 12 Desember 2013

Sebuah Cerita dari Pengalaman Bersuara dan Bertindak

"Latar belakang dari berbagai aksiku"

     Di penghujung akhir tahun ini, kehidupan terasa semakin membosankan. Mahasiswa tingkat akhir yang belum juga kunjung mengerjakan tugas akhir dan skripsi, perkuliahan yang sudah semakin menurun intensitasnya dan kehidupan kampus yang stagnan. Semua itu aku rasakan di masa-masa akhir masa perkuliahanku. Organisasi telah kukenyam sejak mahasiswa baru, aktif di organisasi yang membesarkanku dan tetap hingga saat ini. Perkara pembinaan, birokrasi, politik, konspirasi dibalik suatu aksi semua pernah kualami. Tapi, kini aku dan rekan sejawatku kerap merasa hambar dalam menjadi mahasiswa. "Beginikah rasanya menjadi mahasiswa tingkat akhir, yang sudah tidak lagi aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan dan keorganisasian?" Memang bagi beberapa golongan, mengurusi hal-hal berkaitan pembinaan, kaderisasi, intrik internal kampus adalah hal yang mengasyikkan. Bagaimana menularkan semangat juang yang ditularkan dulu oleh senior ke junior. Semua kini bukan lagi diporsi kami, atau setidaknya begitulah tata urutan proses pembinaan yang diterapkan di kampusku. Hampir separo semester ini hanya kulalui begitu saja. Tidak terlalu mengambil pusing persoalan kegiatan-kegiatan rutin, perkuliahan yang tetap saja terasa membosankan, serta kehidupan kampus yang kian kemari semakin hambar dan membosankan.
Pergerakan independen selayaknya dapat dilakukan oleh setiap mahasiswa, kami penganut faham bebas merdeka. Mahasiswa adalah kaum yang paling bebas dalam bertindak. Begitupun yang seharusnya dilakukan para mahasiswa yang mengaku mahasiswa kampus perjuangan. Puas dijejali soal menyoal kemahasiswaan sejak mahasiswa baru seharusnya menumbuhkembangkan kepekaan dan inisiatif serta wawasan berpikir mereka.

"Bahwa soal menyoal kemahasiswaan tidak melulu soal program kerja tahunan. Ini soal bagaimana mendinamisasi dan memunculkan apa yang kalian rasakan dan perjuangkan ke mahasiswa lain."

      Intrik kampus ini diawal saat diselenggarakannya olimpiade universitas. Intrik biasa dan sangat wajar saat pertandingan-pertandingan bidang mayor seperti basket, futsal, dll terjadi olok mengolok dan pamer 'otot'. Banyak yang 'menjual' dan tinggal menunggu siapa yang hendak 'membeli'. Fakultas lawan mengintimidasi dengan berbagai tulisan dan bentuk propaganda lainnya. Bahkan intimidasi berlanjut sampai aksi provokatif di depan halaman kampus kami. Ada yang salah, kenapa kami tinggal diam saja? Kenapa mereka bisa begitu seenaknya saja melakukan tindakan provokatif murahan semacam itu? Ada dua kemungkinan. Pertama, kami sudah cukup dewasa dalam menanggapi aksi provokatif semacam itu. Atau kedua, kami ini apatis bahkan cenderung pengecut. Para petinggi lembaga kemahasiswaan masih saja berkutat persoalan pembinaan yang tidak kunjung habisnya, belum lagi mulai dilangsungkannya pergantian pejabat dekanat yang membuat birokrat semakin tidak jelas. Maklum saja, saat masa-masa pencalonan semacam inilah sifat individualistis para elit pejabat keluar. Demi memperebutkan kursi panas tersebut, mencurahkan mayoritas tenaga dan pikirannya kepada proses pencalonan. Sebenarnya kami ini punya sikap atau tidak?
     Suatu keanehan yang muncul dibenakku, karena sepanjang sejarah yang diceritakan kepadaku. Kami ini tegas, punya sikap bahkan tidak jarang menjadi penggerak aksi universitas. Tapi kini seakan nyali itu menciut, ah bukan. Aku masih percaya, nyali ini masih ada, hanya saja tidak satu padu untuk kepentingan bersama. Para mahasiswa yang mengaku anak berandal sibuk dengan urusannya sendiri di zona kantinnya. Sibuk memainkan permainan kartu, nongkrong, ngerokok. Tiap hari. Tidak ada yang salah dengan itu semua, tapi ini semua terlalu sia-sia bung! Aku pun bagian dari mereka itu semua. Tidak ada yang diperdebatkan, tidak ada yang diperdulikan. Kemana para elit lembaga yang mengaku mengurusi dunia kemahasiswaan?
    Saatnya datang. Pertandingan melawan rival yang membuat tensi kampus sedikit meninggi. Baguslah, arogansi golongan-golongan sudah mulai luntur saat kami membawa nama 'biru'. Hari itu, tribun gymnasium yang kukenal dulu saat mahasiswa baru benar-benar penuh sesak oleh masyarakat 'biru'. Ternyata inilah hasil tiga tahun kebelakang para elit lembaga terus giat menyerukan untuk solid satu kampus. Solid saat negara biru ini memanggil. Ya pikirku, para tetua dan senior-senior yang dididik dengan didikan arogansi jurusan sudah lulus semua. Tinggallah kami yang menerima didikan masa transisi. Sungguh semangat merasakan hall ini gemuruh saat dilantangkan ­yel-yel dan mars negara biru ini. Walaupun tidak ada yang provokatif. Sedangkan supporter fakultas lawan hanya terisi separuhnya, dan mayoritas pun adalah wanita. Kembali, memang yang membuat kondisi panas adalah tindakan-tindakan provokatif. Fakultas lawan memprovokasi, membuat permainan tim buyar dan terbawa emosi. Ya, sudahlah. Kalah pun tak jadi soal. Aku melihat hari itu sebagai titik balik sebagai semangat solid dari negara biru ini. Hari itu berakhir damai, masyarakat negeri biru ini diusir oleh para petinggi kampus. TIndakan preventif agar tidak terjadi tindakan anarkis yang berujung benturan keras. Alasannya, salah satu mahasiswa kami sedang melakukan kampanye dan eksplorasi untuk menjadi ketua BEM universitas. Tindakan anarkis sekecil apapun bisa mencoreng namanya dan nama kampusku. Hmm, betapa menghargainya kami ini. Mampu menahan emosi yang seringkali memenangi pertarungan melawan logika demi kepentingan dia, kepentingan kampus.

"Sebuah tulisan yang dilatarbelakangi dari emosi dan rasa simpatik kepada rekan sejawat di dunia kemahasiswaan kampus."

      Momen ini kemudian berkembang ke arah politis saat memasuki masa eksplorasi dan kampanye ketua BEM universitas. 3 kandidat yang mencalonkan berasal dari fakultas dengan komposisi Hukum-Fisip, Hukum-Fisip, Teknik-MIPA  Entah bermula sejak kapan, namun friksi antara 3 fakultas ini memang terasa tinggi dan keras. Pemicu awalnya dari beredar isu tidakan pencoretan poster kampanye, pembakaran flyer bahkan konspirasi yang menyulitkan pemasangan poster kampanye oleh ketua BEM fakultas di fakultas ilmu budaya. Tindakan ini difoto yang kemudian beredar di beberapa golongan. Aku dan kawan jurusan tiba-tiba menjadi merasa kesal. Bukan karena kami adalah tim sukses dari calon nomor 3. Tapi, sungguh menyedihkan sekali momen PEMIRA kali ini dikotori dengan aksi black campaign semacam ini. Entah siapa dalang dari semua ini. Spekulasi menyebutkan ada beberapa orang tidak bertanggung jawab yang dibayar senilai lima puluh ribu berupa voucher isi ulang seluler yang melakukan. Merasa kini para lembaga teknik masih sibuk dengan urusan demisioner dan pencalonan menjadi para petinggi lembaga selanjutnya membuat aku dan beberapa temanku mengambil tindakan. Kalau memang ingin melakukan black campaign kami terima sebagai tantangan. Kucopot semua poster dan spanduk kampanye kandidat lainnya. Setiap kali dipasang kembali, aku copot saat itu juga. Silahkan kampanye di luar 'rumah' kami. Kami harus mengambil sikap. Ini tindakan boikot atas buruknya pengawasan panitia PEMIRA kali ini pada pelanggaran-pelanggaran semacam itu.
     Hal ini berlangsung selama kurang lebih satu minggu sejak pertama kali aku mencopot atribut kampanye itu. Sampai tiba hari jumat pagi itu, saat aku jalan melewati rute harian menuju kampus. Tiba-tiba ada sesosok petinggi lembaga fakultasku yang berdiri di sudut keramaian itu, berdiri namun seakan berharap tidak ada dari mahasiswa kampusku yang melihatnya. Tersenyum kepada masyarakat negeri biru ini, namun takut tidak konsisten dalam mengambil tindakan. Ia berdiri di sudut keramaian itu saat salah seorang kandidat ketua BEM melakukan kampanye di depan halaman kami. Dengan kata lain, itu adalah bentuk deklarasi dukungan kepada kandidat itu. Permasalahannya dimulai dari sini. Kembali kebelakang, saat kawanku yang maju sebagai kandidat juga menceritakan bahwa ia (anak kampusku yang mendukung kandidat lain itu) telah berjanji kepada kawanku saat awal pencalonannya akan bersikap netral secara individu, bahkan secara posisi strategis dirinya akan mengarahkan masyarakat negeri biru untuk mendukung kawanku ini. Berasal dari satu almamater memang menjadi alasan yang kuat untuk mendukung. Lagipula sebelumnya ia menjabat Ketua BEM, pasti kami lebih mengenalnya baik secara pribadi maupun profesional dibandingkan kandidat lainnya yang berasal dari fakultas berbeda. Setelah aku dan beberapa kawanku mencari info tentang tindak-tanduk dirinya ini dalam mendukung kandidat dari fakultas lain ini, kami mendapati fakta bahwa ia merupakan teman satu kosan, ia mengaku mengenal baik teman kosannya yang maju menjadi kandidat ketua BEM universitas. Propaganda yang dilakukan cenderung mengarah untuk mendukung kandidat tersebut, bahkan selanjutnya diketahui ternyata ia adalah tim sukses dari kandidat tersebut. Kekecewaan mendalam dari kami akan rapuhnya integritas kalimat dan janjinya. Kami merasa tindakan itu mencederai persahabatan kawanku dengan dirinya. Maka muncullah hashtag #Tolakduridalamdaging. Ini aku pribadi usungkan di media sosial sebagai bentuk protes dan keprihatinan akan bobroknya integritas seseorang yang selama ini menjadi pejabat tinggi lembaga kemahasiswaan. Tidak ada yang menyalahkan karena  perbedaan pilihan, tidak ada yang menyalahkan karena dirinya terang-terangan mendukung kandidat lain. Hanya sebuah kekecewaan mendalam atas kemangkiran dari janjinya.
    Reaksi keras kemudian berkembang cepat melalui media sosial, aku dan beberapa temanku melakukan bentuk protes keras kepada dirinya lewat media sosial. Sebuah tanda tanya besar, "Kok bisa sih?". Isu yang berawal dari segelintir orang kemudian cepat menyebar (baru kusadari kekuatan media sosial ini sungguh besar) ke mahasiswa jurusan lain, bahkan seantero fakultas. Beberapa alumni yang penasaran akan 'serangan' di media sosial itu bahkan sampai bersusah-susah menelpon diriku agar mengetahui duduk persoalan sebenarnya. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang ikut menyerang di media sosial. Rasa kekecewaan dan aksi protes ini tidak mendapat tanggapan dari pemilik akun. Akhirnya beberapa temanku melakukan komunikasi pribadi guna mengklarifikasi permasalahan yang sudah terlanjur tersebar ke banyak orang. Dari situ, sudah disepakati sebuah permohonan maaf dari dirinya bila ucapannya dianggap berat sebelah ke salah satu kandidat, karena dia berjanji untuk bersikap netral. Menurutnya, itu semua hanya kekhilafan semata. Baiklah, masalah itu kemudian mulai meredup seiring dengan menurunnya intensitas aku dan teman-temanku melakukan penyerangan ke akun media sosialnya.
     Saat masa pemilihan kandidat BEM universitas, aku anggap aksi politik kampus berhenti. Dan tinggal menunggu hasil. Namun, di hari kedua masa pemilihan terjadi sebuah aksi dari sekelompok orang yang mengaku dari salah satu golongan organisasi kemahasiswaan independen. Mereka melakukan penyatronan ke sekretariat DPM yang mengurusi persoalan PEMIRA universitas. Orang-orang ini yang berdasarkan info berjumlah kurang lebih dua puluh orang melakukan tuntutan untuk menunda pelaksanaan PEMIRA, melakukan mosi tidak percaya ke organisasi DPM, dan menuntut pembubaran Panitia PEMIRA. Pilihannya untuk membatalkan pesta demokrasi dan menggantinya menjadi musyawarah mahasiswa. Akibatnya, pelaksanaan PEMIRA saat itu ditunda sekitar dua hari masa efektif. Baru setelah dilakukan rapat bersama antara seluruh anggota DPM Fakultas dengan orang-orang itu menghasilkan keputusan untuk melanjutkan kembali pelaksanaan PEMIRA. Dari sini ada kejanggalan dan indikasi permainan politik kotor. Kami mencium bau adanya indikasi konspirasi yang bertujuan merugikan kandidat dari fakultas kami. Pasalnya, minggu selanjutnya (kondisinya saat itu PEMIRA baru dilaksanakan lagi hari jumat) fakultas kami melaksanakan ujian akhir. Pada saat itu praktis membuat kemungkinan mahasiswa untuk memberikan hak pilihnya mengendur. Selain fokus menghadapi ujian akhir sudah dapat dipastikan kegiatan kemahasiswaan di kampus tidak berjalan normal. Kampus sepi, tidak banyak mahasiswa yang melakukan kegiatan-kegiatan. Hal ini yang kami rasakan sebagai kerugian karena seharusnya mayoritas suara kandidat nomor 3 berasal dari fakultas kami ini.
      Rasa kekesalan bertambah akibat tumpulnya kepekaan dan inisiatif para petinggi lembaga untuk mengkondisikan dan mensuasanakan kegiatan PEMIRA ini. Bahkan sejak pelaksanaan awalnya, informasi mengenai penundaan pelaksanaannya dan perubahan jadwal pelaksanaan setelah aksi terakhir di sekretariat DPM tempo hari. Prihatin sungguh melihat para petinggi lembaga tidak kunjung bergerak untuk menggerakkan mahasiswa fakultas kami. Puncak kekesalan dan aksi keprihatinanku pada hari minggu malam menjelang subuh. Aku dan beberapa teman organisasiku membuat dua buah spanduk yang berisi tuntutan kepada Ketua BEM Fakultas 2014 yang isinya:
      1.       Pastikan semua anak teknik memilih di PEMIRA UI 2014
      2.       Awasi pelaksanaan PEMIRA UI 2014
      3.       Sebarkan informasi mengenai jalannya PEMIRA UI 2014
     Spanduk itu kami pasang di tengah kantin tempat sebagian besar kegiatan kemahasiswaan berlangsung di fakultasku. Tujuannya satu, aku ingin mereka semua sadar bahwa kita harus bergerak. Kita sudah terlalu lama diam dan tidak mengambil sikap. Aksi semacam ini perlu dilakukan untuk mendinamisasi kehidupan kampus. Terlebih peran oposisi perlu untuk mengawasi jalannya para pejabat lembaga itu agar tetap berjalan sesuai fungsinya. Ini adalah aksi bentuk keprihatinan atas keapatisan para mahasiswa sekaligus bentuk penolakan atas pengkhianatan integritas seorang petinggi lembaga. Reaksi dari pemasangan spanduk itu, membuat para petinggi lembaga kemahasiswaan yang baru terpilih jumat lalu berkumpul untuk menentukan sikap dan melakukan aksi lanjutan untuk membuat mahasiswa aware atas PEMIRA tahun ini. Kami sudah lama berdiam diri dan menutup mata atas masalah-masalah yang terjadi.
     Ternyata tidak hanya menuai reaksi positif, ada juga reaksi negatif yang aku terima akibat beberapa ulahku. Salah seorang mahasiswa dari satu fakultas yang sama dengan diriku menuai protes atas beberapa tulisanku di media sosial. Permasalahannya adalah, mahasiswa ini tidak mengetahui duduk permasalahan yang terjadi dari awal. Yang aku dan teman-temanku permasalahkan sejak awal bukan menyoal pilihan. Kami paham benar soal demokrasi dan kebebasan berpendapat. Aku tumbuh di lingkungan demokrasi, bahkan kebebasan beragama. Walaupun berada dilingkungan SMA Katolik, aku pernah merasakan duduk sekelas dengan teman-teman dari keempat agama yang lain, dan satu kepercayaan. Dan kami tumbuh bersama, bahkan menjadi teman-teman dekat hingga sekarang. Jadi sudahlah, ini bukan soal demokrasi dalam bersikap, dan yang terpenting adalah tidak melebar kemana-mana. Karena akan ada golongan yang merasa dirugikan nantinya. Kita satu almamater dan sudah sejatinya tidak bertengkar.
        Banyak pelajaran yang bisa diambil dari PEMIRA tahun ini, dari pendewasaan diri, fakta bahwa masih banyak mahasiswa fakultasku yang apatis, kurangnya rasa solid yang ironinya sudah ditanamkan sejak masih mahasiswa baru. Terlebih soal integritas dalam bersikap yang menjadi poin utama seorang pemimpin dan orang besar. Bahwa benar kata pendahulu kampus ini dulu, "Katakan hitam adalah hitam, dan katakan putih adalah putih."