"Latar
belakang dari berbagai aksiku"
Di penghujung akhir tahun ini, kehidupan terasa semakin
membosankan. Mahasiswa tingkat akhir yang belum juga kunjung mengerjakan tugas
akhir dan skripsi, perkuliahan yang sudah semakin menurun intensitasnya dan kehidupan
kampus yang stagnan. Semua itu aku rasakan di masa-masa akhir masa
perkuliahanku. Organisasi telah kukenyam sejak mahasiswa baru, aktif di
organisasi yang membesarkanku dan tetap hingga saat ini. Perkara pembinaan,
birokrasi, politik, konspirasi dibalik suatu aksi semua pernah kualami. Tapi,
kini aku dan rekan sejawatku kerap merasa hambar dalam menjadi mahasiswa.
"Beginikah rasanya menjadi mahasiswa tingkat akhir, yang sudah tidak lagi
aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan dan keorganisasian?" Memang
bagi beberapa golongan, mengurusi hal-hal berkaitan pembinaan, kaderisasi,
intrik internal kampus adalah hal yang mengasyikkan. Bagaimana menularkan
semangat juang yang ditularkan dulu oleh senior ke junior. Semua kini bukan
lagi diporsi kami, atau setidaknya begitulah tata urutan proses pembinaan yang
diterapkan di kampusku. Hampir separo semester ini hanya kulalui begitu saja.
Tidak terlalu mengambil pusing persoalan kegiatan-kegiatan rutin, perkuliahan
yang tetap saja terasa membosankan, serta kehidupan kampus yang kian kemari
semakin hambar dan membosankan.
Pergerakan independen selayaknya dapat dilakukan oleh setiap
mahasiswa, kami penganut faham bebas merdeka. Mahasiswa adalah kaum yang paling
bebas dalam bertindak. Begitupun yang seharusnya dilakukan para mahasiswa yang
mengaku mahasiswa kampus perjuangan. Puas dijejali soal menyoal kemahasiswaan
sejak mahasiswa baru seharusnya menumbuhkembangkan kepekaan dan inisiatif serta
wawasan berpikir mereka.
"Bahwa
soal menyoal kemahasiswaan tidak melulu soal program kerja tahunan. Ini soal
bagaimana mendinamisasi dan memunculkan apa yang kalian rasakan dan perjuangkan
ke mahasiswa lain."
Intrik kampus ini diawal saat diselenggarakannya olimpiade
universitas. Intrik biasa dan sangat wajar saat pertandingan-pertandingan
bidang mayor seperti basket, futsal, dll terjadi olok mengolok dan pamer
'otot'. Banyak yang 'menjual' dan tinggal menunggu siapa yang hendak 'membeli'.
Fakultas lawan mengintimidasi dengan berbagai tulisan dan bentuk propaganda
lainnya. Bahkan intimidasi berlanjut sampai aksi provokatif di depan halaman
kampus kami. Ada yang salah, kenapa kami tinggal diam saja? Kenapa mereka bisa
begitu seenaknya saja melakukan tindakan provokatif murahan semacam itu? Ada
dua kemungkinan. Pertama, kami sudah cukup dewasa dalam menanggapi aksi
provokatif semacam itu. Atau kedua, kami ini apatis bahkan cenderung pengecut.
Para petinggi lembaga kemahasiswaan masih saja berkutat persoalan pembinaan
yang tidak kunjung habisnya, belum lagi mulai dilangsungkannya pergantian
pejabat dekanat yang membuat birokrat semakin tidak jelas. Maklum saja, saat
masa-masa pencalonan semacam inilah sifat individualistis para elit pejabat
keluar. Demi memperebutkan kursi panas tersebut, mencurahkan mayoritas tenaga
dan pikirannya kepada proses pencalonan. Sebenarnya kami ini punya sikap atau
tidak?
Suatu keanehan yang muncul dibenakku, karena sepanjang
sejarah yang diceritakan kepadaku. Kami ini tegas, punya sikap bahkan tidak
jarang menjadi penggerak aksi universitas. Tapi kini seakan nyali itu menciut,
ah bukan. Aku masih percaya, nyali ini masih ada, hanya saja tidak satu padu
untuk kepentingan bersama. Para mahasiswa yang mengaku anak berandal sibuk dengan urusannya sendiri
di zona kantinnya. Sibuk memainkan permainan kartu, nongkrong, ngerokok. Tiap
hari. Tidak ada yang salah dengan itu semua, tapi ini semua terlalu sia-sia
bung! Aku pun bagian dari mereka itu semua. Tidak ada yang diperdebatkan, tidak
ada yang diperdulikan. Kemana para elit lembaga yang mengaku mengurusi dunia
kemahasiswaan?
Saatnya datang. Pertandingan melawan rival yang membuat
tensi kampus sedikit meninggi. Baguslah, arogansi golongan-golongan sudah mulai
luntur saat kami membawa nama 'biru'. Hari itu, tribun gymnasium yang kukenal
dulu saat mahasiswa baru benar-benar penuh sesak oleh masyarakat 'biru'.
Ternyata inilah hasil tiga tahun kebelakang para elit lembaga terus giat
menyerukan untuk solid satu kampus. Solid saat negara biru ini memanggil. Ya
pikirku, para tetua dan senior-senior yang dididik dengan didikan arogansi
jurusan sudah lulus semua. Tinggallah kami yang menerima didikan masa transisi.
Sungguh semangat merasakan hall ini gemuruh saat dilantangkan yel-yel dan mars negara biru ini. Walaupun tidak ada yang provokatif. Sedangkan
supporter fakultas lawan hanya terisi
separuhnya, dan mayoritas pun adalah wanita. Kembali, memang yang membuat
kondisi panas adalah tindakan-tindakan provokatif. Fakultas lawan memprovokasi,
membuat permainan tim buyar dan terbawa emosi. Ya, sudahlah. Kalah pun tak jadi
soal. Aku melihat hari itu sebagai titik balik sebagai semangat solid dari
negara biru ini. Hari itu berakhir damai, masyarakat negeri biru ini diusir
oleh para petinggi kampus. TIndakan preventif agar tidak terjadi tindakan
anarkis yang berujung benturan keras. Alasannya, salah satu mahasiswa kami
sedang melakukan kampanye dan eksplorasi untuk menjadi ketua BEM universitas.
Tindakan anarkis sekecil apapun bisa mencoreng namanya dan nama kampusku. Hmm,
betapa menghargainya kami ini. Mampu menahan emosi yang seringkali memenangi
pertarungan melawan logika demi kepentingan dia, kepentingan kampus.
"Sebuah
tulisan yang dilatarbelakangi dari emosi dan rasa simpatik kepada rekan sejawat
di dunia kemahasiswaan kampus."
Momen ini kemudian berkembang ke arah politis saat memasuki
masa eksplorasi dan kampanye ketua BEM universitas. 3 kandidat yang mencalonkan
berasal dari fakultas dengan komposisi Hukum-Fisip, Hukum-Fisip, Teknik-MIPA Entah
bermula sejak kapan, namun friksi antara 3 fakultas ini memang terasa tinggi
dan keras. Pemicu awalnya dari beredar isu tidakan pencoretan poster kampanye,
pembakaran flyer bahkan konspirasi yang menyulitkan pemasangan poster kampanye
oleh ketua BEM fakultas di fakultas ilmu budaya. Tindakan ini difoto yang
kemudian beredar di beberapa golongan. Aku dan kawan jurusan tiba-tiba menjadi
merasa kesal. Bukan karena kami adalah tim sukses dari calon nomor 3. Tapi,
sungguh menyedihkan sekali momen PEMIRA kali ini dikotori dengan aksi black campaign semacam ini. Entah siapa
dalang dari semua ini. Spekulasi menyebutkan ada beberapa orang tidak
bertanggung jawab yang dibayar senilai lima puluh ribu berupa voucher isi ulang seluler yang
melakukan. Merasa kini para lembaga teknik masih sibuk dengan urusan demisioner dan pencalonan menjadi para
petinggi lembaga selanjutnya membuat aku dan beberapa temanku mengambil
tindakan. Kalau memang ingin melakukan black
campaign kami terima sebagai tantangan. Kucopot semua poster dan spanduk
kampanye kandidat lainnya. Setiap kali dipasang kembali, aku copot saat itu
juga. Silahkan kampanye di luar 'rumah' kami. Kami harus mengambil sikap. Ini
tindakan boikot atas buruknya pengawasan panitia PEMIRA kali ini pada
pelanggaran-pelanggaran semacam itu.
Hal ini berlangsung selama kurang lebih satu minggu sejak pertama
kali aku mencopot atribut kampanye itu. Sampai tiba hari jumat pagi itu, saat
aku jalan melewati rute harian menuju kampus. Tiba-tiba ada sesosok petinggi
lembaga fakultasku yang berdiri di sudut keramaian itu, berdiri namun seakan
berharap tidak ada dari mahasiswa kampusku yang melihatnya. Tersenyum kepada
masyarakat negeri biru ini, namun takut tidak konsisten dalam mengambil
tindakan. Ia berdiri di sudut keramaian itu saat salah seorang kandidat ketua
BEM melakukan kampanye di depan halaman kami. Dengan kata lain, itu adalah
bentuk deklarasi dukungan kepada kandidat itu. Permasalahannya dimulai dari
sini. Kembali kebelakang, saat kawanku yang maju sebagai kandidat juga
menceritakan bahwa ia (anak kampusku yang mendukung kandidat lain itu) telah
berjanji kepada kawanku saat awal pencalonannya akan bersikap netral secara
individu, bahkan secara posisi strategis dirinya akan mengarahkan masyarakat
negeri biru untuk mendukung kawanku ini. Berasal dari satu almamater memang
menjadi alasan yang kuat untuk mendukung. Lagipula sebelumnya ia menjabat Ketua
BEM, pasti kami lebih mengenalnya baik secara pribadi maupun profesional
dibandingkan kandidat lainnya yang berasal dari fakultas berbeda. Setelah aku
dan beberapa kawanku mencari info tentang tindak-tanduk dirinya ini dalam
mendukung kandidat dari fakultas lain ini, kami mendapati fakta bahwa ia
merupakan teman satu kosan, ia mengaku mengenal baik teman kosannya yang maju
menjadi kandidat ketua BEM universitas. Propaganda yang dilakukan cenderung
mengarah untuk mendukung kandidat tersebut, bahkan selanjutnya diketahui
ternyata ia adalah tim sukses dari kandidat tersebut. Kekecewaan mendalam dari
kami akan rapuhnya integritas kalimat dan janjinya. Kami merasa tindakan itu
mencederai persahabatan kawanku dengan dirinya. Maka muncullah hashtag #Tolakduridalamdaging. Ini aku
pribadi usungkan di media sosial sebagai bentuk protes dan keprihatinan akan
bobroknya integritas seseorang yang selama ini menjadi pejabat tinggi lembaga
kemahasiswaan. Tidak ada yang menyalahkan karena perbedaan pilihan, tidak ada yang menyalahkan
karena dirinya terang-terangan mendukung kandidat lain. Hanya sebuah kekecewaan
mendalam atas kemangkiran dari janjinya.
Reaksi keras kemudian berkembang cepat melalui media sosial,
aku dan beberapa temanku melakukan bentuk protes keras kepada dirinya lewat
media sosial. Sebuah tanda tanya besar, "Kok bisa sih?". Isu yang
berawal dari segelintir orang kemudian cepat menyebar (baru kusadari kekuatan
media sosial ini sungguh besar) ke mahasiswa jurusan lain, bahkan seantero
fakultas. Beberapa alumni yang penasaran akan 'serangan' di media sosial itu
bahkan sampai bersusah-susah menelpon diriku agar mengetahui duduk persoalan
sebenarnya. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang ikut menyerang di media sosial.
Rasa kekecewaan dan aksi protes ini tidak mendapat tanggapan dari pemilik akun.
Akhirnya beberapa temanku melakukan komunikasi pribadi guna mengklarifikasi
permasalahan yang sudah terlanjur tersebar ke banyak orang. Dari situ, sudah
disepakati sebuah permohonan maaf dari dirinya bila ucapannya dianggap berat
sebelah ke salah satu kandidat, karena dia berjanji untuk bersikap netral.
Menurutnya, itu semua hanya kekhilafan semata. Baiklah, masalah itu kemudian
mulai meredup seiring dengan menurunnya intensitas aku dan teman-temanku
melakukan penyerangan ke akun media sosialnya.
Saat masa pemilihan kandidat BEM universitas, aku anggap
aksi politik kampus berhenti. Dan tinggal menunggu hasil. Namun, di hari kedua
masa pemilihan terjadi sebuah aksi dari sekelompok orang yang mengaku dari
salah satu golongan organisasi kemahasiswaan independen. Mereka melakukan
penyatronan ke sekretariat DPM yang mengurusi persoalan PEMIRA universitas.
Orang-orang ini yang berdasarkan info berjumlah kurang lebih dua puluh orang melakukan
tuntutan untuk menunda pelaksanaan PEMIRA, melakukan mosi tidak percaya ke
organisasi DPM, dan menuntut pembubaran Panitia PEMIRA. Pilihannya untuk
membatalkan pesta demokrasi dan menggantinya menjadi musyawarah mahasiswa.
Akibatnya, pelaksanaan PEMIRA saat itu ditunda sekitar dua hari masa efektif.
Baru setelah dilakukan rapat bersama antara seluruh anggota DPM Fakultas dengan
orang-orang itu menghasilkan keputusan untuk melanjutkan kembali pelaksanaan
PEMIRA. Dari sini ada kejanggalan dan indikasi permainan politik kotor. Kami
mencium bau adanya indikasi konspirasi yang bertujuan merugikan kandidat dari
fakultas kami. Pasalnya, minggu selanjutnya (kondisinya saat itu PEMIRA baru
dilaksanakan lagi hari jumat) fakultas kami melaksanakan ujian akhir. Pada saat
itu praktis membuat kemungkinan mahasiswa untuk memberikan hak pilihnya
mengendur. Selain fokus menghadapi ujian akhir sudah dapat dipastikan kegiatan
kemahasiswaan di kampus tidak berjalan normal. Kampus sepi, tidak banyak
mahasiswa yang melakukan kegiatan-kegiatan. Hal ini yang kami rasakan sebagai
kerugian karena seharusnya mayoritas suara kandidat nomor 3 berasal dari
fakultas kami ini.
Rasa kekesalan bertambah akibat tumpulnya kepekaan dan
inisiatif para petinggi lembaga untuk mengkondisikan dan mensuasanakan kegiatan
PEMIRA ini. Bahkan sejak pelaksanaan awalnya, informasi mengenai penundaan
pelaksanaannya dan perubahan jadwal pelaksanaan setelah aksi terakhir di
sekretariat DPM tempo hari. Prihatin sungguh melihat para petinggi lembaga tidak
kunjung bergerak untuk menggerakkan mahasiswa fakultas kami. Puncak kekesalan
dan aksi keprihatinanku pada hari minggu malam menjelang subuh. Aku dan
beberapa teman organisasiku membuat dua buah spanduk yang berisi tuntutan
kepada Ketua BEM Fakultas 2014 yang isinya:
1.
Pastikan semua anak teknik memilih di PEMIRA UI
2014
2.
Awasi pelaksanaan PEMIRA UI 2014
3.
Sebarkan informasi mengenai jalannya PEMIRA UI
2014
Spanduk itu kami pasang di tengah kantin tempat sebagian
besar kegiatan kemahasiswaan berlangsung di fakultasku. Tujuannya satu, aku
ingin mereka semua sadar bahwa kita harus bergerak. Kita sudah terlalu lama
diam dan tidak mengambil sikap. Aksi semacam ini perlu dilakukan untuk
mendinamisasi kehidupan kampus. Terlebih peran oposisi perlu untuk mengawasi jalannya
para pejabat lembaga itu agar tetap berjalan sesuai fungsinya. Ini adalah aksi
bentuk keprihatinan atas keapatisan para mahasiswa sekaligus bentuk penolakan
atas pengkhianatan integritas seorang petinggi lembaga. Reaksi dari pemasangan
spanduk itu, membuat para petinggi lembaga kemahasiswaan yang baru terpilih
jumat lalu berkumpul untuk menentukan sikap dan melakukan aksi lanjutan untuk
membuat mahasiswa aware atas PEMIRA
tahun ini. Kami sudah lama berdiam diri dan menutup mata atas masalah-masalah yang
terjadi.
Ternyata tidak hanya menuai reaksi positif, ada juga reaksi
negatif yang aku terima akibat beberapa ulahku. Salah seorang mahasiswa dari
satu fakultas yang sama dengan diriku menuai protes atas beberapa tulisanku di
media sosial. Permasalahannya adalah, mahasiswa ini tidak mengetahui duduk
permasalahan yang terjadi dari awal. Yang aku dan teman-temanku permasalahkan
sejak awal bukan menyoal pilihan. Kami paham benar soal demokrasi dan kebebasan
berpendapat. Aku tumbuh di lingkungan demokrasi, bahkan kebebasan beragama.
Walaupun berada dilingkungan SMA Katolik, aku pernah merasakan duduk sekelas
dengan teman-teman dari keempat agama yang lain, dan satu kepercayaan. Dan kami
tumbuh bersama, bahkan menjadi teman-teman dekat hingga sekarang. Jadi sudahlah,
ini bukan soal demokrasi dalam bersikap, dan yang terpenting adalah tidak melebar
kemana-mana. Karena akan ada golongan yang merasa dirugikan nantinya. Kita satu
almamater dan sudah sejatinya tidak bertengkar.
Banyak pelajaran yang bisa diambil dari PEMIRA tahun ini,
dari pendewasaan diri, fakta bahwa masih banyak mahasiswa fakultasku yang
apatis, kurangnya rasa solid yang ironinya sudah ditanamkan sejak masih
mahasiswa baru. Terlebih soal integritas dalam bersikap yang menjadi poin utama
seorang pemimpin dan orang besar. Bahwa benar kata pendahulu kampus ini dulu,
"Katakan hitam adalah hitam, dan katakan putih adalah putih."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar