Jumat, 28 Januari 2011

Referensi (Pikiran): Laguna Sempu

Tak perlu dijelaskan mengenai definisi atau penjelasan mengenai laguna sempu lagi. Saya akan berbagi cerita perjalanan ke Laguna Sempu. Surga kecil atau Neraka besar.

Perjalanan dimulai dari Terminal Gadang, tempat rendezvous yang kami tentukan. Peserta berasal dari Jogja dan Malang. Dari Jogja, perjalanan dimulai dengan menuju stasiun Solo-Jebres, sekitar pukul 1 malam, menunggu kereta Matarmaja tujuan Malang. Kereta sampai sekitar pukul 7 (seringkali pukul 8). Terminal Gadang menuju Turen, memakan waktu sekitar 30 menit dengan tarif bus 4 ribu rupiah. Dilanjutkan menggunakan angkot (bahasa jakarta pada umumnya) menuju Sendang Biru, dengan tarif 15 ribu (tolong jangan kaget, melihat rute yang sangat jauh dan melewati beberapa bukit). Begitu sampai di daerah wisata Sendang Biru, tarif retribusi dikenakan Rp. 5500, kemudian Anda harus wajib lapor ke pos untuk mengonfirmasi jumlah peserta. Imbauannya tidak diperkenankan untuk membuat camp di Laguna Sempu, saya rasa ada benarnya. Tapi kami putuskan untuk mendirikan camp di sana malam ini. Jangan lupa untuk memberi uang seikhlasnya (lebih tepatnya pungli yang tidak bertanggung jawab). Kemudian perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan perahu untuk menyebrang ke pulau sempu oleh seorang paruh baya bernama Pak Di (dia yang menguasai perahu di sini, monopoli kurang lebih) seharga 100 ribu per perahu, tidak peduli berapa orang yang naik (perahu cukup besar, estimasi saya cukup untuk 20 orang sekaligus)

Setelah sampai di Pulau Sempu, kami bersiap ber-trekking ria yang konon memakan waktu ada yang bahkan 9 jam perjalanan. Kami semua menggunakan sepatu sendal merk ternama asal bandung yang kini harganya kian tidak masuk akal. Setelah berjalan memasuki hutan, saya melihat jenis trek yang dilalui lumpur basah dan dalam. Berhubung saya pernah mengalami situasi serupa saat ingin memanjat tebing Jeger di kawasan Bogor, jadi saya putuskan utnuk melepas sendal saya (pengalamaan waktu itu, sendal saya putus). ternyata benar saja, hujan rintik yang mengguyur menambah sulit trekk yang kami lalui. Kondisi trek sangat licin, ditambah jalur yang tidak jelas, mengharuskan kami terkadang menerobos semak belukar (bagi yang memutuskan tidak menggunakan alas sepatu, akan emndapat resiko duri yang beterbaran.) 1 jam, 1 setengah jam belum kunjung sampai. Beberapa spot di dalam hutan terlihat berantkan akibat badai yang baru menerjang kawasan Malang (sekitar bulan Januari), beberapa pohon besar tampak roboh dan menghalangi jalan. Bahkan ada jalur yang saya perkirakan adalah lumpur hisap. Sungguh pengorbanan yang luar biasa. Setelah 2 jam trekking, akhirnya kami sampai di Laguna Sempu. Indah, indah dan indah sungguh indah pemandangan ini. Bermain air sebentar sembari membersihkan lumpur pekat yang menempel di kaki.

Kemudian, kami mencari tempat dan berbagi tempat untuk camp kelompok lain. "Keluarkan seluruh barang untuk camp." Brengsek, rupanya tidak ada yang membawa tenda. hanya tersedia 2 buah ponco, dan 5 buah matras. Apaboleh buat, karena hujan yang terus turun akhirnya kami segera membuat bivak dadakan, dengan ponco yang kondisinyapun tidak cukup layak untuk dijadikan bivak. Setelah selesai membuat bivak, segera membuat makan malam. Hanya ada mie instant sekitar 10 bungkus, air mineral 6 liter. Dalam hati, "Mau ngapain coba bawaan kayak gini ngecamp?" Oke, kita masak saja seadanya. Beberapa memasak mie instant, dan saya memasak minuman jahe wangi untuk menambah rasa kantuk (biar cepat tidur dan besok pagi baru main-main.) Melirik kelompok sebelah kami yang mantap membawa tenda, membawa 2 buah galon! Dan memasak ikan bakar!! Memang, mereka menggunakan jasa porter. Oke, jangan mau kalah, kami nikmati mie instant seadanya itu. FYI, bukan hanya hujan yang menganggu tapi juga hewan-hewan kecil (belakangan diketuahi sejenis kerang) yang menganggu, membuat gatal kaki, tangan, terkadang bahkan muka. Ditambah pasir yang membuat tidak bisa tidur pastinya. Setelah kami periksa, terang saja. kami dirikan tenda dekat semak yang menjadi sarang hewan tersebut (maaf kalao begitu, kami yang menganggu kalian.) Hal semakin keruh saat malam datang, dengan terang bulan penuh yang membuat air pasang naik serta ditambah angin kencang, badai dari samudra. Batas air naik, hingga hampir menyentuh camp kami. Yak, tepat pukul 11, ketika salah seorang teman tertidur pulas (inilah karma dari seorang yang kerjaannya hanya tidur) tersapu air pasang yang membuat dia terbangun dan lari terbirit-birit. Lantas membuat seluruh teman yang tetap terjaga tertawa terbahak-bahak dan menyumpahinya. HA!

Untuk hal-hal keindahannya, silahkan datang sendiri ke surga kecil atau neraka besar ini (bagi saya)

Rincian perjalanan:
angkot di kota Malang: 2,500 (jauh dekat)
Terminal Gadang - Turen: 4,000
Turen - Sendang Biru: 15,000
Retribusi: 5,500
Uang lapor: 15,000 - 20,000 (seikhlasnya)
Perahu: 100,000
Total: 70,000-80,000




sekian!

Rabu, 12 Januari 2011

Sebuah Ilmu Besar dari Desa

Kali ini berbeda dengan keseharian kota sebelumnya yang penuh dengan curiga, tanya, bersikap skeptis, defensif, di desa semua itu berubah. Mengubah pola hidup manusia kota. Pagi hari adalah waktunya untuk bangun, namun jam berapa orang kota bangun (pemuda kebanyakan) jam 9? Jam 10? Atau jam 11? Kehidupan hingar bingar sebagai ciri khas kehidupan kota kini membuat sebagian pemuda enggan merasakan mentari pagi menyambut. Membiarkan terik matahari siang dengan bumbu debu polusi pikiran negatif menguasai. Desa menawarkan kehidupan 'adem ayem' membuat waktu berjalan begitu lambat. Tidur malam pun terasa sangat pulas dan efektif. Membuat tubuh terbangun awal untuk memulai aktivitas.

Ya itu hanyalah gambaran umum dan opini pribadi mengenai desa dan kota. Tapi kali ini, desa yang saya datangi agaknya memiliki pola pikir yang berbeda. Bukan desanya, tapi lawan bicara saya yang berada di desa ini. Dia seorang pemuda sekitar 28 tahun, masih tergolong saudara jauh saya. Singkat cerita, walaupun berada di desa justru pembicaraan saya dengan dirinya melewati bahan bicaraan saya di kota. Dia seakan semakin membuka pola pikir saya dan membuat saya sadar bahwa dunia ini sangat sangatlah luas. Dan beberapa kali saya diajarkan kritis menanggapi masalah dengan menggunakan pola pikir kritis berbau sastra-politik. Borjuis, kapitalis, kaum yahudi, budak asia, komersil, hal-hal itulah yang saya pelajari darinya. Ternyata, dunia asli itu (bukan lagi dunia bermain anak-anak atau dunia belajar) memiliki sejuta maksud lain di dalamnya. Dunia ini seakan merajut benang percabangan dari setiap jalan yang akan ditempuhnya. Dan semua itu memiliki maksud tersendiri. Dia (pemuda itu) membicarakan segalanya dan hebatnya masih mengkaitkannya dengan ajarab alkitabiah yang sebenarnya telah menuliskan apa yang terjadi di dunia saat ini. Sungguh, baru kusadari itu.

Dia berasal dari angkatan perjuangan reformasi, katanya. Orang dari angkatan ini tampaknya sangat membenci rezim orde baru, hal itu kusadari setelah melihat buah pikiran beberapa orang dari angkatan ini. Mereka semua sungguh, sunggu mengecam dan menyayangkan rezim orde baru itu. Hingga, tumbuh kebencian yang teramat sangat (relatif) terhadap negara indah Indonesia ini. Saat dia bekerja di Belanda, ternyata banyak orang hasil 'buangan' rezim orde baru ini. Mereka pergi untuk belajar di negeri lain saat masa orde lama (beberapa disekolahkan negara), namun saat kekuasaan berganti ke rezim orde baru. Mereka, yang seharusnya bertindak sebagai pahlawan ilmu dari negeri lain justru dianggap menjadi ancaman ideologis pemikiran bagi rezim orde baru. "Kalian pulang, ku penggal kepala kalian!" Kurang lebih seperti itulah, kata-kata kiasan yang tepat untuk menggambarkan nasib mereka yang terombang-ambing dalam ketidakjelasan keadaan, warga negara, nasib. Seperti watak dan naluri manusia, saat manusia merasa tidak disukai atau bahkan cenderung dibenci, maka mereka akan kembali tidak menyukainya. Maka yang terjadi, hilanglah warga negara Indonesia itu, menikah dengan warga negara asing, menyimpan segudang pemikiran yang dipersiapkan untuk tanah air. Begitulah, sungguh ironis budaya negara kita ini. Ideologi macam apa yang dapat berkembang? Hanya Pancasila, maka jika ada yang mengatakan pluralisme berkembang di Indonesia, saya ragukan itu. Semua memiliki ideologi, pemikiran sama dengan baju yang berbeda. Hanya itu.