Kali ini berbeda dengan keseharian kota sebelumnya yang penuh dengan curiga, tanya, bersikap skeptis, defensif, di desa semua itu berubah. Mengubah pola hidup manusia kota. Pagi hari adalah waktunya untuk bangun, namun jam berapa orang kota bangun (pemuda kebanyakan) jam 9? Jam 10? Atau jam 11? Kehidupan hingar bingar sebagai ciri khas kehidupan kota kini membuat sebagian pemuda enggan merasakan mentari pagi menyambut. Membiarkan terik matahari siang dengan bumbu debu polusi pikiran negatif menguasai. Desa menawarkan kehidupan 'adem ayem' membuat waktu berjalan begitu lambat. Tidur malam pun terasa sangat pulas dan efektif. Membuat tubuh terbangun awal untuk memulai aktivitas.
Ya itu hanyalah gambaran umum dan opini pribadi mengenai desa dan kota. Tapi kali ini, desa yang saya datangi agaknya memiliki pola pikir yang berbeda. Bukan desanya, tapi lawan bicara saya yang berada di desa ini. Dia seorang pemuda sekitar 28 tahun, masih tergolong saudara jauh saya. Singkat cerita, walaupun berada di desa justru pembicaraan saya dengan dirinya melewati bahan bicaraan saya di kota. Dia seakan semakin membuka pola pikir saya dan membuat saya sadar bahwa dunia ini sangat sangatlah luas. Dan beberapa kali saya diajarkan kritis menanggapi masalah dengan menggunakan pola pikir kritis berbau sastra-politik. Borjuis, kapitalis, kaum yahudi, budak asia, komersil, hal-hal itulah yang saya pelajari darinya. Ternyata, dunia asli itu (bukan lagi dunia bermain anak-anak atau dunia belajar) memiliki sejuta maksud lain di dalamnya. Dunia ini seakan merajut benang percabangan dari setiap jalan yang akan ditempuhnya. Dan semua itu memiliki maksud tersendiri. Dia (pemuda itu) membicarakan segalanya dan hebatnya masih mengkaitkannya dengan ajarab alkitabiah yang sebenarnya telah menuliskan apa yang terjadi di dunia saat ini. Sungguh, baru kusadari itu.
Dia berasal dari angkatan perjuangan reformasi, katanya. Orang dari angkatan ini tampaknya sangat membenci rezim orde baru, hal itu kusadari setelah melihat buah pikiran beberapa orang dari angkatan ini. Mereka semua sungguh, sunggu mengecam dan menyayangkan rezim orde baru itu. Hingga, tumbuh kebencian yang teramat sangat (relatif) terhadap negara indah Indonesia ini. Saat dia bekerja di Belanda, ternyata banyak orang hasil 'buangan' rezim orde baru ini. Mereka pergi untuk belajar di negeri lain saat masa orde lama (beberapa disekolahkan negara), namun saat kekuasaan berganti ke rezim orde baru. Mereka, yang seharusnya bertindak sebagai pahlawan ilmu dari negeri lain justru dianggap menjadi ancaman ideologis pemikiran bagi rezim orde baru. "Kalian pulang, ku penggal kepala kalian!" Kurang lebih seperti itulah, kata-kata kiasan yang tepat untuk menggambarkan nasib mereka yang terombang-ambing dalam ketidakjelasan keadaan, warga negara, nasib. Seperti watak dan naluri manusia, saat manusia merasa tidak disukai atau bahkan cenderung dibenci, maka mereka akan kembali tidak menyukainya. Maka yang terjadi, hilanglah warga negara Indonesia itu, menikah dengan warga negara asing, menyimpan segudang pemikiran yang dipersiapkan untuk tanah air. Begitulah, sungguh ironis budaya negara kita ini. Ideologi macam apa yang dapat berkembang? Hanya Pancasila, maka jika ada yang mengatakan pluralisme berkembang di Indonesia, saya ragukan itu. Semua memiliki ideologi, pemikiran sama dengan baju yang berbeda. Hanya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar