Jumat, 31 Mei 2013

Perjalanan Musim Pengembaraan 2012




Sebuah lukisan Tuhan, selimut kabut
Hutanlah taman setiap rumah
Tanpa gaduh, bising riuh hiruk pikuk
Kedamaian dalam menyambut pagi
Ternyata benar kata orang
Indonesia bukan hanya pulau jawa
Terlalu kecil bagi pikiranku menerka
Keindahan pulau lain
Dan itulah tujuanku
Setidaknya akan kunikmati perjalanan di negeri orang ini
Perjalanan menuju Rajabasa - Bus
Sabtu, 7 Juli 2012

Aku berdiri di sini sekarang
Bukan di pasir putih yang indah
Bukan di pulau yang penuh sekegaran
Tapi di tanah gerik matahari
Tapi di pulau yang jauh dari kesegaran air
Siapa peduli?
Tawa dan kebersamaan ini sudah cukup
Jamuan hangat dan semangat ini terlalu indah
Bukan untuk menikmatinya
Setidaknya tidak sekarang
Berkatilah agar air ini juga bisa berarti
Tatkala mereka terlupakan
Mereka telah berada di surga mereka
Pulau pahawang
Kec. Punduh Pedada, Lampung Selatan

Warga ini menyambut penuh semangat
Mungkin sedikit harapan
Membenahi hidup mereka
Di sambut semilir angin
Tak jua membuat hati ini menjadi malas
Abrasi air laut yang terus menerpa
Sejak tahun 1950 mereka berpijak di tanah ini
Hilir mudik para pendatang
Tapi inilah pahawang
Mereka tetaplah kaum sosialis
Manusia pasti jua butuh manusia
Bukan di saat manis saja, pun saat pahit
Inilah kearifan lokal masyarakat indonesia
Kebersamaan dan kekeluargaan tanpa batas
Pahawang sore hari

Hari kedua di minggu pertama di bulan juli
Hari kedua menyatu dengan masyarakat pesisir ini
Hari kedua diriku menikmati kesunyian ini
Nikmat entah kenapa
Bukan hiruk pikuk saat mata ini terbuka
Bukan rutinitas gila dari masyarakat modern itu
Hamparan laut biru luas membentang
Membagi horizon ini antara langin dan laut
Nikmat, sungguh nikmat
Pagi hari di hari kedua
Dusun 4 Kalangan

Banyak orang mempertanyakan surga dunia
Sex, narkoba.. bukan itu kawan
Hamparan pasir putih disapu ombak
Desir angin meniup daun itu
Kicau burung menyapa
Pulau condong surga dunia.

Sahabat Para Pejalan
Seorang pejalan tidak akan pernah berhenti melangkahkan kakinya
Tak akan pernah berhenti mencari keindahan dunia ini
Tak akan pernah merasa cukup menatap tiap fajar
Mencumbui angin dan embun pagi hari

Seorang pejalan seharusnya memiliki ketidakpuasan
Walaupun melihat ribuan fajar terbit dan fajar terbenam
Walaupun menghirup nafas segar tiap subuh menggigit tulang
Karena seorang pejalan adalah manusia

Ternyata benar,
Apa yang mereka butuhkan bukan hanya alam itu
Bukan hanya kenikmatan mencumbui embun
Atau memuaskan tatapan mata saat fajar menyembul
Kawan seorang pejalan yang menghabiskan waktu bersamamu di alam
Itulah saudaramu
Dialah yang kau butuhkan
Untuk mengenang, untuk bersorak
Demi seorang pejalan, yang tidak lagi berjalan sendiri
Karena tiap langkah kakinya kini berlipat jumlahnya.

Inilah Pulau Condong!
Sore itu ketika aku tiba di pantai pasir putih menempuh jalanan neraka itu. Debu berterbangan dari truk-truk besar pengangkut batu bara, sungguh sesak, panas, mati! "Degedeg gedeg..", kapal nelayan berlayar, katanya sih di sini tempatnya kepiting dan cumi... "oke, jadi pak" selesai deal dengan harga perahu untuk menyebrang ke tujuan awal, Pulau Condong. 5 menit, 15 menit, 20 menit, tiba. Aneh, bukan keindahan yang pulau ini berikan di kesan awal, tapi mistis! Misterius! Bapak tua itu berdiri rapuh, renta, menatap kami yang masih sibuk menurunkan barang-barang. "sepuluh ribu per malam per orang." Padat, jelas dan tetap memberi kesan misterius. Memang, jiwa mahasiswa pas-pasan bergelora. "Ga bisa kurang pak?"  "yaudah adek tentuin aja, diomongin bareng-bareng dulu aja." Kemudian melenggang pergi menunggu di pondoknya. Langkah kaki masuk diiringi suara burung dan monyet dari pulau bak tidak berpenghuni ini. Imam si orang padang langsung menawar setengah harga. Oke, enam puluh ribu 2 hari untuk 6 orang. Sebenarnya kasihan betul bapak ini, seakan sendiri menunggu dan mengasuh pulau ini. Bak terkutuk di pulau ini.
Camp berdiri, yang lain memasak, aku dan imam berjalan mengecek pulau. Surutnya air laut membuat kami dapat mengitari pulau ini dengan lancar. "Gila!", gumamku terus menerus melihat keindahan dan kealamian surga ini. Terumbu karang nampak jelas dari gradasi warna air laut. Dari hijau, ke biru. Ini ga ada di jakarta kawan. Inilah yang membuat seorang pejalan tak akan pernah menghentikan langkahnya menyusuri keindahan alam yang ada di nusantara ini, yang ada didunia ini karena setiap melihat alam ini, ia akan melihat keagungan Sang Pencipta di dunia ini. Langkahku terus berjalan menyusuri pantai yang indah ini, sampai aku kembali ke camp kami yang telah berdiri, disambut anggta kelompok lain yang sedang memasak, menyiapkan santap malam.
"Belom nemu tebingnya nih.", setelah aku dan Imam menyusuri bibir di sekeliling pulau ini memang belum ada indikasi ada tebing yang nampak biasa dipanjat. Tebing-tebing di pulau ini rata-rata berada di atas, harus melewati hutan dan telah ditumbuhi semak belukar di sepanjang tebingnya. Setelah santap makan malam dan evaluasi, kamipun menyiapkan perencanaan esok hari untuk mencari kembali tebing yang dapat dipanjat.
Di ufuk fajar telah memberikan kehangatan yang kami sambut dengan seruput segelas kopi sambil menunggu nasi kami tanak dan lauk yang masih digoreng hangat. Tania telah sibuk dengan kamera dan tripod nya di bibir pantai, siap menangkap setiap keindahan mentari pagi yang begitu elok dan penuh semangat. Ternyata eksotisme matahari di pagi memiliki filosofi yang begitu berbeda dengan saat matahari yang sama terbenam. Sebuah awal yang baru, dengan penuh semangat menyinari hari kami yang penuh semangat menggapai tebing-tebing cadas di pulau ini. Mencoba belajar dari keeksotismean pulau ini, kesunyian dan kearifan dari Pulau Condong ini. Siap dengan peralatan pemanjatan, Faris, aku dan Imam serta Harya membawa 4 cariel penuh peralatan ke bagian timur pulau mencari tebing melewati rekahan karang membentuk goa sampai di sebuah bibir pantai dengan pintu rimba di depan mata. "Kayaknya ini deh tebingnya.", seru Imam, yang sebelumnya melihat foto pemanjatan KAPA di tahun 90-an akhir. Yakin dengan hasil foto yang aku search di google, akhrinya kami bersiap melakukan pemanjatan. Harya bertugas nge-lead, aku dan Faris menyiapkan alat, Imam bersiap belaying. Pite juga membantu persiapan alat, sedangkan Tania tetap dengan tugasnya bersama kameranya.
Di awal, tidak begitu sulit sampai pitch 1. Medan yang dilalui tergolong landai dan banyak pijatan. Kendala yang dijumpai adalah tekstur tebing yang banyak tanah dan batu lepas. Setelah Harya selesai ngelead sampai pitch 1, giliran yang lain untuk menyusul Harya ke pitch 1. Tidak begitu lama untuk anggota yang lain mencapai pitch 1. Setelah pitch 1, nampak jalur sport yang ternyata sangat sulit bagi kami untuk dapat memanjatnya. Posisi pitch 1 yang sempit dan tekstur tebing yang merupakan batuan magma dengan cacat tebing patahan tajam sekitar sembilan puluh derajat, ibarat point, hanya point cubit semua yang hanya cukup untuk ujung jari kami. Setelah pembahasan dan manajemen waktu akhirnya kami memutuskan untuk mencoba tebing ini dengan time limit. Namun sayang, sampai time limit yang kami tentukan, kami belum mencapai pitch 2. Akhirnya kami memutuskan untuk cleaning jalur dan bersiap kembali ke camp. Sempat hampir terjadi kecelakaan saat Harya cleaning jalur dan Tania ngebelay, batu yang diinjak Harya ternyata batu lepas dan dari ketinggian sekitar 20 meter harya teriak "Rooocccckkkk!!!", Sontak aku yang berada di bawah bersama Tania melihat ke atas, dan sempat tercengang. Batu seukuran 2 kali ukuran kepala orang dewasa menggelinding ke bawah menabrak tebing sebelum akhirnya jatuh dan pecah persis di antara aku dan Tania. Oke, kami masih beruntung tidak terkena kami. Tania sempat shock dan aku bilang kepadanya untuk merapikan alat ke dalam carrier di ujung tebing.
Selesai dengan peralatan dan check list, kami kembali ke camp sambil mengumpulkan kayu bakar untuk kami bakar malam hari nanti. Memasak di kesunyian malam, ditemani kawan-kawan seperjuanganku memang begitu menyenangkan. Bukan menyenangkan, ini akan menjadi kenangan dalam hidupku. Memang, ini bukan pertama kalinya aku menghabiskan waktu di alam bersama kawan-kawan ku. Namun, percayalah seorang kawan yang melewati segalanya di alam bersamamu adalah saudaramu! Kembali kami tidur ditemani kesunyian malam, yang terkadang terdengar bunyi kapal nelayan, burung-burung dari hutan dibelakang kami, sunyi, tenang, horror, mencekam, damai, misterius. Itulah perasaan setiap malam kami di pulau ini, apalagi bila mengingat Imam dan Harya yang menemukan 3 makam di puncak pulau ini dan kejadian aneh dengan monyet-monyet di dekat makam tadi siang. Oke, apapun yang terjadi setidaknya aku bersama kawan-kawanku, saudara-saudaraku. Bagi seorang manusia yang mengagumi alam, akan terasa begitu nikmat saat menikmatinya bersama dengan kawan-kawanmu, saudaramu.
Andre,
K-286-11

Dan Masihkah Kau Bangga Menjadi Orang Indonesia?



                Malam itu, saat aku sedang nongkrong di sekret tiba-tiba Retri, si bocah unyil itu menghampiriku dan bertanya, "Kak Asu, besok ada kerjaan ga?", "Enggak tuh", "Ke Pulau Seribu yuk, ama Kak Ucup juga", "Bah, yaudahlah ayo." Sangat tiba-tiba dan tak direncanakan, tapi pikirku tak apalah sudah lama juga aku tidak jalan-jalan, padahal mengaku seorang traveler di klub pencinta alam yang sudah kenyang pengalaman. Malam itu, seperti biasa sebelum melakukan perjalanan aku pasti tidak mengantuk dan gelisah. Sampai jam menunjukkan pukul 04.30 WIB, "ah sialan, ga bisa tidur lagi." Kucoba memejamkan mata sebentar setelah selesai mengerjakan laporan dan packing barang pribadi.
                "Kak Asu, bangun! Jadi pergi ga?", sontak aku langsung bangun sambil sayup-sayup  melihat sosok si bocah unyil itu terlihat panik. Setelah selesai menyiapkan barang bawaan, kami langsung turun ke bawah. "Naik apa nih Kak Asu? Si Fara udah di Citos", "Yaudah deh, naik taksi aja ke citos terus berng sama Fara." Baru saja kami jalan melewati pos satpam Retri sontak teriak,"Kameranya Fara!". Karena kami berlomba dengan waktu mengingat sepengetahuanku kapal terakhir berangkat pukul 07.00 WIB dan saat itu sudah pukul enam kurang. "Yaudah, lo ambil ke sekret, gw ambil duit ke psiko dulu. Nanti ketemuan di Menwa aja." Akhirnya kami berpisah sambil terburu-buru memanggil ojek dan pergi ke arah yang berlawanan. Pagi itu menjadi sangat hectic karena kami yang bangun telat, untunglah kami masih bisa sampai ke Pelabuhan Muara Angke tepat pukul 07.00 dan setelah bertemu Ucup, kami memutuskan untuk pergi ke Pulau Pari. Alesannya sebenarnya tidak terlalu kompleks, aku pribadi sudah pernah ke Pulau Tidung, sedangkan Retri sudah ke Pulau Pramuka. Tinggalah tersisa Pulau Pari  yang belum pernah kami kunjungi. Perjalanan di kapal yang tidak terlalu penuh itu menghabiskan waktu sekitar satu setengah jam sampai tiba di sebuah pulau dengan pantai yang putih. Disambut terik sengat matahari dan beberapa warga desa yang lalu lalang, tidak terlalu banyak sehingga mengesankan pulau itu sepi, tenang, ramah dan damai.
                Karena tidak terlalu mempersiapkan perjalanan ini, akhirnya kami bingung lokasi mana yang harus kami kunjungi di pulau ini. Duduk sebentar di sebuah warung yang sepi, aku mengeluarkan handphone ku yang beruntung masih mendapat sinyal karena memang ada tower pemancar di pulau ini. Aku searching di google tentang pulau ini, dan semua membicarakan soal pantai pasir perawan. Tidak memiliki banyak pilihan soal lokasi, kami pergi menuju ke pantai pasir perawan dengan bantuan arah dari beberapa penduduk lokal yang kami tanya. Panas, sungguh, panas dan terik siang ini. Padahal baru jam sepuluh pagi. Setibanya aku di pantai pasir perawan, tentunya setelah membayar retribusi sebesar Rp. 10.000 per orang per malam karena kami akan mendirikan camp di pantai, sungguh aku terkesima dan takjub melihat pemandangan pantai yang putih, bersih dengan beberapa bale  elok dan serasi dengan bibir pantainya yang disapu tipis ombak. Terbuat dari bambu ditemani dengan ornamen-ornamen unik seperti lapangan voli sederhana dengan pembatas area lapangan menggunakan tali tambang, beberapa tanaman hijau mungil dan deretan warung di sepanjang pantai yang menanti para tamunya datang ke warung mereka. Tak kusangka ternyata pemberdayaan dan pembinaan penduduk lokal di sini sudah sangat baik sehingga kesadaran warga akan menjaga keindahan dan kebersihan pantai ini juga muncul. Usut boleh usut, LIPI mendirikan sebuah pusat penelitian di pulau ini, fokus penelitiannya seputar penanaman rumput laut dan pencangkokan termubu karang. Penduduk lokal mengatakan, mayoritas yang mengadakan penilitan dan menjadi mentor di LIPI adalah orang asing, orang bule. Mendengar hal ini, mulai mengganggu pendengaranku akan apa yang dilakukan para warga asing bagi tanah air tercinta ini, aneh betul.
                Duduk di tepi pantai yang cukup teduh oleh rimbunnya beberapa pohon besar, lengkap dengan bangku kayu usang dan tua serta sepasang hammock yang terpasang di pohon besar itu, sungguh santai dan nikmat hanya duduk di sini. Beristirahat sebentar, menurunkan daypack dan duduk bersantai. Menghisap sebatang rokok ditemani dengan semilir angin. Sungguh cara tepat untuk melepas penat orang-orang di ibu kota. Paling enak duduk di pinggir pantai sambil makan, karena perut ini memang belum terisis sejak pagi. Kami pun memasak perbekalan kami, dengan alat-alat yang kami bawa, kompr parafin, 2 kota parafin utuh, misting siap memasak beras yang kami rencanakan menjadi nasi goreng, ditambah lauk kornet. Yap, sudah bosan kami dengan makanan yang ada di kantin selama ini. Setengah jam lebih kami memasak nasi yang terasa sungguh lama untuk tanak, pembahasan kami karena tekanan di pantai ini yang rendah, tidak sama seperti di gunung di mana kami biasa memasak nasi. Jadi memerlukan waktu yang lebih lama untuk tanak. Akhirnya nasi tanak, siap dicampur dengan bumbu nasi goreng dan kornet yang akan kami masak bersama. "Udah, campurin aja semua. Ntar juga mateng-mateng juga." Tak sabar, kamipun mencoba makanan kami yang ternyata tidak cukup lezat. "Hahahaha, dasar istri-istri laknat", candaku kepada Retri dan Fara sebagai wanita yang tidak becus memasak.
                Cukup dengan bersantai-santai di pinggir pantai, tak sabar aku mencoba untuk segera berenang. Ternyata pantai ini tidak dalam, hanya sebatas perutku saja yang memiliki tinggi sekitar 168 cm. Kunikmati saja kejernihan pantai ini dan beberapa kawanan ikan-ikan kecil yang mondar-mandir­ di sekelilingku. Walau panas matahari panas menyengat, tapi kesunyian di pantai ini membuat seakan dirimu memiliki seluruh pantai ini. Kembali ke pantai saat datang seorang pria bertubuh besar, bukan pribumi, seorang turis asing antara American or European. Dia tibaa-tiba datang menghampiri kami yang masih duduk santai menikmati kopi yang kami buat. Dia menyapa kami semua, menanyakan beberapa pertanyaan dalam bahasa inggris, dari logatnya aku tahu dia dari Inggris, British, seorang Britania. Sempat terlintas, logatnya mengingatkanku pada Mr. Bean, yang juga seorang Britania. Setelah beberapa lama perbincangan soal apa yang kami lakukan, apakah kami sudah ke tempat ini sebelumnya, dan sebagainya, kami menanyakan kembali kepadanya, sudah berapa lama dia di Indonesia dan sudah pernah ke mana saja. Aku terhenyak mendengarnya, selama 2 tahun dia mengatakan "Ive, been everywhere. Trust me, I've been Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, everyhwere." Sungguh bagi diriku pribadi, aku malu sebagai bangsa Indonesia bahkan aku sendiri kalah kepada  wisatawan asing itu. Ia telah mendatangi hampir seluruh pulau besar di Indonesia, hanya kurang Papua, Raja Ampat.
                Pengalaman itu kujadikan refleksi kepada diriku yang masih muda ini, sudahkah aku mengenal negaraku ini? Sudahkah aku pergi jauh, sejauh bumi nusantara ini membentangkan keindahannya? Aku tidak mau membuang waktuku ini sia-sia. Setidaknya dengan tidak melakukan apapun yang berguna. Sungguh negara kita ini indah, dan menyuarakan keindahannya yang membuat seluruh dunia datang kepadanya. Melakukan perjalanan-perjalanan kecil sekalipun tak mengapa, melihat keindahan dunia ini, belajar dari alam, menghargai alam, melihat realita dunia ini. Apa lagi yang perlu kita tunggu? Aku selalu memikirkan itu, sampai terngiang di kepalaku "Aku tak perlu ijin dari siapapun untuk pergi kemana saja di negara ku ini."

Salah Satu Buah Pikir


                Dewasa ini warga metalurgi merasakan adanya selalu penurunan kualitas dari generasi penerus. Hal ini dirasakan selama 2 tahun terakhir. Penurunan kualitas ini dilihat dari komitmen individu-individu kepada jurusan dan sebagai mahasiswa. Keseimbangan antara akademis dan non-akademis yang cenderung berat sebelah sehingga tidak mampu menjadi mahasiswa yang ideal bagi mahasiswa FTUI umumnya, warga metal khususnya. Pandangan ini menghasilkan pemikiran untuk mendefinisikan mahasiswa teknik metalurgi yang ideal sebagai acuan dasar pembinaan dan penanaman selama kegiatan kemahasiswaan.
                Evaluasi selama 3 tahun terakhir mengerucut kepada kemampuan mahasiswa untuk memanajemen waktu agar mampu menyeimbangkan kegiatan akademis dan non-akademis. Tuntutan bidang akademis yang semakin mencekik kehidupan kampus (non-akademis) mahasiswa menjadi tantangan sendiri bagi mahasiswa saat ini agar tetap menjadi kriteria mahasiswa ideal. Parameter lain untuk dapat menyeimbangkan kegiatan akademis dan non-akademis yaitu kekompakan, solidaritas dan kepekaan di antara satu angkatan. Tidak dapat dipungkiri, sering kali mahasiswa dihadapkan untuk mengorbankan 1 dari 2 hal tadi (bidang akademis dan non-akademis) untuk dapat fokus sesuai minatnya. Kadang mahasiswa terlalu aktif di organisasi dan kepanitiaan sehingga membuat bidang akademisnya turun, namun tidak sedikit tekanan bidang akademis membuat mahasiswa menjadi apatis dan pasif kepada kegiatan mahasiswa yang sebenarnya komponen yang sama pentingnya untuk dapat menjadi mahasiswa ideal. Maka daripada itu, penilaian secara komunal (saling menutupi) dapat dijadikan evaluasi mahasiswa ideal dari angkatan tersebut. Seluruh konsep penanaman dan doktrinasi selama kegiatan kemahasiwaan diarahkan agar tiap individu dari maba metal 2013 menjadi atau setidaknya mengarah ke definisi mahasiswa ideal tadi.
                Evaluasi lainnya adalah kadang tidak sedikit mahasiswa yang aktif di dunia kemahasiswaan yang bahkan sampai mengorbankan bidang akademisnya sebenarnya tidak melakukan hal yang besar, yang pada idealnya sesuai dengan tri-dharma perguruan tinggi. Sehingga terkesan kegiatan kemahasiswaan yan dijalani tidak sebanding dengan apa yang dikorbankan. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya penurunan dari pemahaman akan konsep tugas dan peran mahasiswa FTUI umumnya, DMMT khususnya. Kemampuan untuk berpikir kritis dan idealis, sekaligus mampu mengutarakan dan menyuarakan pikirannya tersebut menjadi poin penting yang sangat disorot. Sebagai salah satu komponen untuk menjadi mahasiswa ideal sesuai definisi di atas, mahasiswa diharapkan mampu mengemban tugas yang lebih besar untuk turut berpartisipasi dalam scope area yang lebih luas. Tidak hanya bagi angkatan, departemen, namun kepada fakultas, almamater dan masyarakat luas. Untuk itu perlu adanya sokongan dan kerja sama tim serta sifat solid dalam satu angkatan. Agar mampu secara komunal mencapai definisi mahasiswa ideal tersebut. Evaluasi yang dirasakan, mahasiswa saat ini tidak memiliki keteguhan hati secara individu atau sifat pantang menyerah ditengah tantangan yang dihadapi. Pada contohnya, mahasiswa UI era 98-an mampu menggulingkan pemerintahan Soeharto yang dianalogikan sebagai tekanan luar biasa untuk dapat menghasilkan kehidupan yang lebih baik. Bagi mahasiswa modern saat ini, tantangannya justru berada pada tanggung jawab dan beban untuk menjadi lebih baik dari bidang akademis. Dewasa ini, mahasiswa ingin dibentuk menjadi mahasiswa yang hanya bertanggung jawab kepada bidang akademis, belajar, tugas dan IPK agar mampu menjadi SDM berkualitas di dunia kerja. Seakan tidak ada bedanya dengan siswa SD sampai SMA yang hanya belajar untuk pintar. Harus disadari, tantangan bidang akademis saat ini menjadi momok dan justru banyak mahasiswa yang akhirnya menyerah pada tantangan tersebut, kalah kepada birokrat dan pembuat kebijakan.
                Dari sini dapat ditarik kesimpulan, bahwa yang diperlukan maba metal 2013 adalah rasa solidaritas yang tinggi di angkatan agar mampu saling tolong menolong dan mem-back up­ , tangguh agar dapat selalu berusaha mengarah menjadi mahasiswa ideal sesuai definisi serta cerdas untuk menjadi individu mahasiswa yang kompetitif sehingga dapat berkarya pada scope yang lebih luas sebagai tanggung jawab mahasiswa seharusnya sesuai tri-dharma perguruan tinggi.

Let me feel, I'm Falling

I have been inspired by a movie called, "Into The Wild". Some people said it was a great movie, told about a real man idealism, a man's dream. This movie become greater because it is adapted by a reality. He is Christopher McCandles who become this "man's dream". I'm sure, there are a lot of people, especially man who feels a same feeling and situation with him. Sometimes we all are sick with our life, our schedule; works, people, friends, a city noise. Just want to be free. Find something we never know before. Like an 'Ultimate Freedom'. No one will order you anything. He is smart, rich enough to have a proper life. But sometimes our environment give a bad effect to our mentality, our habit, but also a wisdom from those experience. No pain no gain. But is that always like that? That we have to suffer to become a wisdom people? From this movie I can imagine how people can 'getting crazy' by a dilemma with his mind. Breakthrough the rules, his fate to make his own path. Making his own fate, never get influenced by another people.

Untuk menjadi seorang yang idealis, melakukan apa yang harus kau ingin lakukan tanpa 'get to cautious' adalah inti dari sebuah individu yang idealis. Permasalahan yang diajarkan oleh budaya negara ini adalah toleransi. Aku yakin, setiap anak SD pernah menjawab pertanyaan soal toleransi kepada orang lain. Didoktrin untuk membatasi diri oleh keberadaan orang lain, which said with 'society'. Hal ini membuat sebagian orang jenuh dan muak akan keberadaan orang-orang ini. Ingin menjadi bebas tanpa ada gangguan, keterbatasan dari orang lain. Tapi tidak mungkin umat manusia di dunia ini dimusnahkan. Maka orang-orang semacam ini menjadi penyendiri, anti-sosial untuk memenuhi jeritan pikiran mereka untuk dibebaskan. Like a quotes, "Hate to think what you have to be, it's like you are in a cage". Pemikiran dirimu berhenti pada keputusan aku ingin, 'I will'. Tapi tak pernah merelasisasikan apa yang diri kita anggap benar, maka itulah kurungan diri kita. Sebuah kebimbangan, pergulatan hati dan distorsi otak yang merujuk kepada kebingungan tindakan yang harus diambil. Sebuah dilema dari keadaan yang ada, akhirnya yang ada adalah 'minus malum', hal terbaik dari yang ada. Menjadi sebegitu realistis atas kegagalan menjadi idealis.

Let me feel, I'm falling. Biarkan diriku jatuh, hilang bersama alam ini. Menjadi pribadi idealis, melakukan segala sesuatu dengan kebahagian yang sejati atas dasar melampiaskan ego diri. Soal kasih sayang dan cinta yang mungkin tidak dapat kau dapatkan dari kesendirian dan kesempurnaan dari kehampaan dunia ini, menurutku cinta tidak lebih kepada sang pencipta. Mensyukuri kehidupan ini adalah salah satu tujuan cinta diciptakan untuk dapat mencintai Boss kita ini.

Hidup ini tak lebih dari sebuah perwayangan klasik
Dengan dalang Sang kesempurnaan
Sempurna untuk menjalani kehidupan ini
Memiliki intrik kehidupan yang pelik ini
Mengaburkan kepercayaan akan adanya kehidupan yang bebas

Sebuah tanya terkuak atas dasar perenungan kehidupan
Bertanya apa yang menjadi tujuan dari kehidupan ini
Ahhh. Penat rasanya, aku rindu keheningan itu
Sebuah kekosongan yang abadi
Ketiadaan dari segala sesuat yang rumit ini
Pelariankah ini? Aku rasa ini salah satu prinsip kehidupan

Menyendiri sendiri, aku ingin
Dan kembali kebijakan alam yang menemaniku
Celotehan angin yang berbisik lirih
"Tak apa kawan."

"I'm the one who wants to be with you, deep inside I hope you feel it too.."

Keinginan untuk dipahami dan dimengerti. So, let me feel I'm falling. 

Senin, 27 Mei 2013

Dasar Sialan. What a shame

Emosi dari manusia saat tidak lagi tertahankan akan mengarah ke umpatan, kata kasar, negatif. Apakah manusia memang cenderung bergerak dan menyukai hal-hal negatif? Seperti dosa. Hal negatif yang menyenangkan. Umpatan, melepas emosi jiwa. Seperti bom di kepala yang dikeluarkan begitu saja. Kali ini, aku membahas soal emosi manusia yang aneh. Aku tidak paham teori-teori yang meneliti soal emosi manusia, yang dihubungkan secara sains dengan kemampuan otak manusia, kelenjar dan hormon yang berpengaruh. Tapi yang jelas emosi ini yang membuat manusia adalah manusia. Bukan sekedar seonggok daging yang berjalan tanpa emosi, tanpa perasaan, bukan perasaan yang lemah itu. Perasaan kuat, yang membuat kita mengenal pribadi-pribadi termasuk diri kita sendiri. Lewat identifikasi diri, evaluasi dan perenungan momen-momen yang terjadi.

What I want to tell is about the truth. Someone have told everyone by his book. He said " Rather than fairness, than love, than money, than fame, give me truth". He is Thoreau. Our emotion is the key about truth of ourselves. Our emotion always want to be set free. But, in this world that full with hypocrite hold our emotion. Our logic and brains that hold it. Frightened about unstable condition, indistinctness. Someday, people will think I'm not that strong to hold this condition, this unfairness, this hatred, this love. Then, that people will think also how if? what if? ah, it's impossible. My old senior ever told about fear. Fear is about an unknown conditioning, a hesitate to do something that comes wavily. But, there's ever a wisdom people said the only thing that certain is an uncertain thing. So how can we face the world that full of uncertain thing? The answer is to use the emotion, our feeling, the intuition. It never lies. No matter what they say, no matter what you feel then. The important thing is to say it. To do something, it's better than do nothing.

I wrote it also to breakthrough my emotion. I just write what i want to. Never think about it, without scheme, without consideration. Just free. Like, "Ultimate Freedom". No one will ever blame you, even yourself. Your emotion have to be free, to face this world. To live your life. End