Malam
itu, saat aku sedang nongkrong di sekret tiba-tiba Retri, si bocah unyil itu
menghampiriku dan bertanya, "Kak Asu, besok ada kerjaan ga?",
"Enggak tuh", "Ke Pulau Seribu yuk, ama Kak Ucup juga",
"Bah, yaudahlah ayo." Sangat tiba-tiba dan tak direncanakan, tapi
pikirku tak apalah sudah lama juga aku tidak jalan-jalan, padahal mengaku
seorang traveler di klub pencinta alam yang sudah kenyang pengalaman. Malam
itu, seperti biasa sebelum melakukan perjalanan aku pasti tidak mengantuk dan
gelisah. Sampai jam menunjukkan pukul 04.30 WIB, "ah sialan, ga bisa tidur
lagi." Kucoba memejamkan mata sebentar setelah selesai mengerjakan laporan
dan packing barang pribadi.
"Kak
Asu, bangun! Jadi pergi ga?", sontak aku langsung bangun sambil
sayup-sayup melihat sosok si bocah unyil
itu terlihat panik. Setelah selesai menyiapkan barang bawaan, kami langsung
turun ke bawah. "Naik apa nih Kak Asu? Si Fara udah di Citos",
"Yaudah deh, naik taksi aja ke citos terus berng sama Fara." Baru
saja kami jalan melewati pos satpam Retri sontak teriak,"Kameranya
Fara!". Karena kami berlomba dengan waktu mengingat sepengetahuanku kapal
terakhir berangkat pukul 07.00 WIB dan saat itu sudah pukul enam kurang. "Yaudah,
lo ambil ke sekret, gw ambil duit ke psiko dulu. Nanti ketemuan di Menwa
aja." Akhirnya kami berpisah sambil terburu-buru memanggil ojek dan pergi
ke arah yang berlawanan. Pagi itu menjadi sangat hectic karena kami yang bangun telat, untunglah kami masih bisa
sampai ke Pelabuhan Muara Angke tepat pukul 07.00 dan setelah bertemu Ucup,
kami memutuskan untuk pergi ke Pulau Pari. Alesannya sebenarnya tidak terlalu
kompleks, aku pribadi sudah pernah ke Pulau Tidung, sedangkan Retri sudah ke
Pulau Pramuka. Tinggalah tersisa Pulau Pari yang belum pernah kami kunjungi. Perjalanan di
kapal yang tidak terlalu penuh itu menghabiskan waktu sekitar satu setengah jam
sampai tiba di sebuah pulau dengan pantai yang putih. Disambut terik sengat
matahari dan beberapa warga desa yang lalu lalang, tidak terlalu banyak
sehingga mengesankan pulau itu sepi, tenang, ramah dan damai.
Karena
tidak terlalu mempersiapkan perjalanan ini, akhirnya kami bingung lokasi mana
yang harus kami kunjungi di pulau ini. Duduk sebentar di sebuah warung yang
sepi, aku mengeluarkan handphone ku yang beruntung masih mendapat sinyal karena
memang ada tower pemancar di pulau
ini. Aku searching di google tentang
pulau ini, dan semua membicarakan soal pantai pasir perawan. Tidak memiliki
banyak pilihan soal lokasi, kami pergi menuju ke pantai pasir perawan dengan
bantuan arah dari beberapa penduduk lokal yang kami tanya. Panas, sungguh,
panas dan terik siang ini. Padahal baru jam sepuluh pagi. Setibanya aku di
pantai pasir perawan, tentunya setelah membayar retribusi sebesar Rp. 10.000
per orang per malam karena kami akan mendirikan camp di pantai, sungguh aku terkesima dan takjub melihat
pemandangan pantai yang putih, bersih dengan beberapa bale elok dan serasi dengan
bibir pantainya yang disapu tipis ombak. Terbuat dari bambu ditemani dengan
ornamen-ornamen unik seperti lapangan voli sederhana dengan pembatas area
lapangan menggunakan tali tambang, beberapa tanaman hijau mungil dan deretan
warung di sepanjang pantai yang menanti para tamunya datang ke warung mereka.
Tak kusangka ternyata pemberdayaan dan pembinaan penduduk lokal di sini sudah
sangat baik sehingga kesadaran warga akan menjaga keindahan dan kebersihan
pantai ini juga muncul. Usut boleh usut, LIPI mendirikan sebuah pusat
penelitian di pulau ini, fokus penelitiannya seputar penanaman rumput laut dan
pencangkokan termubu karang. Penduduk lokal mengatakan, mayoritas yang
mengadakan penilitan dan menjadi mentor di LIPI adalah orang asing, orang bule. Mendengar hal ini, mulai
mengganggu pendengaranku akan apa yang dilakukan para warga asing bagi tanah
air tercinta ini, aneh betul.
Duduk
di tepi pantai yang cukup teduh oleh rimbunnya beberapa pohon besar, lengkap
dengan bangku kayu usang dan tua serta sepasang hammock yang terpasang di pohon besar itu, sungguh santai dan
nikmat hanya duduk di sini. Beristirahat sebentar, menurunkan daypack dan duduk bersantai. Menghisap
sebatang rokok ditemani dengan semilir angin. Sungguh cara tepat untuk melepas
penat orang-orang di ibu kota. Paling enak duduk di pinggir pantai sambil
makan, karena perut ini memang belum terisis sejak pagi. Kami pun memasak
perbekalan kami, dengan alat-alat yang kami bawa, kompr parafin, 2 kota parafin
utuh, misting siap memasak beras yang kami rencanakan menjadi nasi goreng,
ditambah lauk kornet. Yap, sudah
bosan kami dengan makanan yang ada di kantin selama ini. Setengah jam lebih
kami memasak nasi yang terasa sungguh lama untuk tanak, pembahasan kami karena
tekanan di pantai ini yang rendah, tidak sama seperti di gunung di mana kami
biasa memasak nasi. Jadi memerlukan waktu yang lebih lama untuk tanak. Akhirnya
nasi tanak, siap dicampur dengan bumbu nasi goreng dan kornet yang akan kami
masak bersama. "Udah, campurin aja
semua. Ntar juga mateng-mateng juga." Tak sabar, kamipun mencoba makanan kami
yang ternyata tidak cukup lezat. "Hahahaha, dasar istri-istri
laknat", candaku kepada Retri dan Fara sebagai wanita yang tidak becus memasak.
Cukup
dengan bersantai-santai di pinggir pantai, tak sabar aku mencoba untuk segera
berenang. Ternyata pantai ini tidak dalam, hanya sebatas perutku saja yang
memiliki tinggi sekitar 168 cm. Kunikmati saja kejernihan pantai ini dan
beberapa kawanan ikan-ikan kecil yang mondar-mandir
di sekelilingku. Walau panas matahari panas menyengat, tapi kesunyian di
pantai ini membuat seakan dirimu memiliki seluruh pantai ini. Kembali ke pantai
saat datang seorang pria bertubuh besar, bukan pribumi, seorang turis asing
antara American or European. Dia
tibaa-tiba datang menghampiri kami yang masih duduk santai menikmati kopi yang
kami buat. Dia menyapa kami semua, menanyakan beberapa pertanyaan dalam bahasa
inggris, dari logatnya aku tahu dia dari Inggris, British, seorang Britania.
Sempat terlintas, logatnya mengingatkanku pada Mr. Bean, yang juga seorang
Britania. Setelah beberapa lama perbincangan soal apa yang kami lakukan, apakah
kami sudah ke tempat ini sebelumnya, dan sebagainya, kami menanyakan kembali
kepadanya, sudah berapa lama dia di Indonesia dan sudah pernah ke mana saja.
Aku terhenyak mendengarnya, selama 2 tahun dia mengatakan "Ive, been
everywhere. Trust me, I've been Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
everyhwere." Sungguh bagi diriku pribadi, aku malu sebagai bangsa
Indonesia bahkan aku sendiri kalah kepada
wisatawan asing itu. Ia telah mendatangi hampir seluruh pulau besar di
Indonesia, hanya kurang Papua, Raja Ampat.
Pengalaman
itu kujadikan refleksi kepada diriku yang masih muda ini, sudahkah aku mengenal
negaraku ini? Sudahkah aku pergi jauh, sejauh bumi nusantara ini membentangkan
keindahannya? Aku tidak mau membuang waktuku ini sia-sia. Setidaknya dengan
tidak melakukan apapun yang berguna. Sungguh negara kita ini indah, dan
menyuarakan keindahannya yang membuat seluruh dunia datang kepadanya. Melakukan
perjalanan-perjalanan kecil sekalipun tak mengapa, melihat keindahan dunia ini,
belajar dari alam, menghargai alam, melihat realita dunia ini. Apa lagi yang
perlu kita tunggu? Aku selalu memikirkan itu, sampai terngiang di kepalaku
"Aku tak perlu ijin dari siapapun untuk pergi kemana saja di negara ku
ini."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar