Jumat, 31 Mei 2013

Dan Masihkah Kau Bangga Menjadi Orang Indonesia?



                Malam itu, saat aku sedang nongkrong di sekret tiba-tiba Retri, si bocah unyil itu menghampiriku dan bertanya, "Kak Asu, besok ada kerjaan ga?", "Enggak tuh", "Ke Pulau Seribu yuk, ama Kak Ucup juga", "Bah, yaudahlah ayo." Sangat tiba-tiba dan tak direncanakan, tapi pikirku tak apalah sudah lama juga aku tidak jalan-jalan, padahal mengaku seorang traveler di klub pencinta alam yang sudah kenyang pengalaman. Malam itu, seperti biasa sebelum melakukan perjalanan aku pasti tidak mengantuk dan gelisah. Sampai jam menunjukkan pukul 04.30 WIB, "ah sialan, ga bisa tidur lagi." Kucoba memejamkan mata sebentar setelah selesai mengerjakan laporan dan packing barang pribadi.
                "Kak Asu, bangun! Jadi pergi ga?", sontak aku langsung bangun sambil sayup-sayup  melihat sosok si bocah unyil itu terlihat panik. Setelah selesai menyiapkan barang bawaan, kami langsung turun ke bawah. "Naik apa nih Kak Asu? Si Fara udah di Citos", "Yaudah deh, naik taksi aja ke citos terus berng sama Fara." Baru saja kami jalan melewati pos satpam Retri sontak teriak,"Kameranya Fara!". Karena kami berlomba dengan waktu mengingat sepengetahuanku kapal terakhir berangkat pukul 07.00 WIB dan saat itu sudah pukul enam kurang. "Yaudah, lo ambil ke sekret, gw ambil duit ke psiko dulu. Nanti ketemuan di Menwa aja." Akhirnya kami berpisah sambil terburu-buru memanggil ojek dan pergi ke arah yang berlawanan. Pagi itu menjadi sangat hectic karena kami yang bangun telat, untunglah kami masih bisa sampai ke Pelabuhan Muara Angke tepat pukul 07.00 dan setelah bertemu Ucup, kami memutuskan untuk pergi ke Pulau Pari. Alesannya sebenarnya tidak terlalu kompleks, aku pribadi sudah pernah ke Pulau Tidung, sedangkan Retri sudah ke Pulau Pramuka. Tinggalah tersisa Pulau Pari  yang belum pernah kami kunjungi. Perjalanan di kapal yang tidak terlalu penuh itu menghabiskan waktu sekitar satu setengah jam sampai tiba di sebuah pulau dengan pantai yang putih. Disambut terik sengat matahari dan beberapa warga desa yang lalu lalang, tidak terlalu banyak sehingga mengesankan pulau itu sepi, tenang, ramah dan damai.
                Karena tidak terlalu mempersiapkan perjalanan ini, akhirnya kami bingung lokasi mana yang harus kami kunjungi di pulau ini. Duduk sebentar di sebuah warung yang sepi, aku mengeluarkan handphone ku yang beruntung masih mendapat sinyal karena memang ada tower pemancar di pulau ini. Aku searching di google tentang pulau ini, dan semua membicarakan soal pantai pasir perawan. Tidak memiliki banyak pilihan soal lokasi, kami pergi menuju ke pantai pasir perawan dengan bantuan arah dari beberapa penduduk lokal yang kami tanya. Panas, sungguh, panas dan terik siang ini. Padahal baru jam sepuluh pagi. Setibanya aku di pantai pasir perawan, tentunya setelah membayar retribusi sebesar Rp. 10.000 per orang per malam karena kami akan mendirikan camp di pantai, sungguh aku terkesima dan takjub melihat pemandangan pantai yang putih, bersih dengan beberapa bale  elok dan serasi dengan bibir pantainya yang disapu tipis ombak. Terbuat dari bambu ditemani dengan ornamen-ornamen unik seperti lapangan voli sederhana dengan pembatas area lapangan menggunakan tali tambang, beberapa tanaman hijau mungil dan deretan warung di sepanjang pantai yang menanti para tamunya datang ke warung mereka. Tak kusangka ternyata pemberdayaan dan pembinaan penduduk lokal di sini sudah sangat baik sehingga kesadaran warga akan menjaga keindahan dan kebersihan pantai ini juga muncul. Usut boleh usut, LIPI mendirikan sebuah pusat penelitian di pulau ini, fokus penelitiannya seputar penanaman rumput laut dan pencangkokan termubu karang. Penduduk lokal mengatakan, mayoritas yang mengadakan penilitan dan menjadi mentor di LIPI adalah orang asing, orang bule. Mendengar hal ini, mulai mengganggu pendengaranku akan apa yang dilakukan para warga asing bagi tanah air tercinta ini, aneh betul.
                Duduk di tepi pantai yang cukup teduh oleh rimbunnya beberapa pohon besar, lengkap dengan bangku kayu usang dan tua serta sepasang hammock yang terpasang di pohon besar itu, sungguh santai dan nikmat hanya duduk di sini. Beristirahat sebentar, menurunkan daypack dan duduk bersantai. Menghisap sebatang rokok ditemani dengan semilir angin. Sungguh cara tepat untuk melepas penat orang-orang di ibu kota. Paling enak duduk di pinggir pantai sambil makan, karena perut ini memang belum terisis sejak pagi. Kami pun memasak perbekalan kami, dengan alat-alat yang kami bawa, kompr parafin, 2 kota parafin utuh, misting siap memasak beras yang kami rencanakan menjadi nasi goreng, ditambah lauk kornet. Yap, sudah bosan kami dengan makanan yang ada di kantin selama ini. Setengah jam lebih kami memasak nasi yang terasa sungguh lama untuk tanak, pembahasan kami karena tekanan di pantai ini yang rendah, tidak sama seperti di gunung di mana kami biasa memasak nasi. Jadi memerlukan waktu yang lebih lama untuk tanak. Akhirnya nasi tanak, siap dicampur dengan bumbu nasi goreng dan kornet yang akan kami masak bersama. "Udah, campurin aja semua. Ntar juga mateng-mateng juga." Tak sabar, kamipun mencoba makanan kami yang ternyata tidak cukup lezat. "Hahahaha, dasar istri-istri laknat", candaku kepada Retri dan Fara sebagai wanita yang tidak becus memasak.
                Cukup dengan bersantai-santai di pinggir pantai, tak sabar aku mencoba untuk segera berenang. Ternyata pantai ini tidak dalam, hanya sebatas perutku saja yang memiliki tinggi sekitar 168 cm. Kunikmati saja kejernihan pantai ini dan beberapa kawanan ikan-ikan kecil yang mondar-mandir­ di sekelilingku. Walau panas matahari panas menyengat, tapi kesunyian di pantai ini membuat seakan dirimu memiliki seluruh pantai ini. Kembali ke pantai saat datang seorang pria bertubuh besar, bukan pribumi, seorang turis asing antara American or European. Dia tibaa-tiba datang menghampiri kami yang masih duduk santai menikmati kopi yang kami buat. Dia menyapa kami semua, menanyakan beberapa pertanyaan dalam bahasa inggris, dari logatnya aku tahu dia dari Inggris, British, seorang Britania. Sempat terlintas, logatnya mengingatkanku pada Mr. Bean, yang juga seorang Britania. Setelah beberapa lama perbincangan soal apa yang kami lakukan, apakah kami sudah ke tempat ini sebelumnya, dan sebagainya, kami menanyakan kembali kepadanya, sudah berapa lama dia di Indonesia dan sudah pernah ke mana saja. Aku terhenyak mendengarnya, selama 2 tahun dia mengatakan "Ive, been everywhere. Trust me, I've been Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, everyhwere." Sungguh bagi diriku pribadi, aku malu sebagai bangsa Indonesia bahkan aku sendiri kalah kepada  wisatawan asing itu. Ia telah mendatangi hampir seluruh pulau besar di Indonesia, hanya kurang Papua, Raja Ampat.
                Pengalaman itu kujadikan refleksi kepada diriku yang masih muda ini, sudahkah aku mengenal negaraku ini? Sudahkah aku pergi jauh, sejauh bumi nusantara ini membentangkan keindahannya? Aku tidak mau membuang waktuku ini sia-sia. Setidaknya dengan tidak melakukan apapun yang berguna. Sungguh negara kita ini indah, dan menyuarakan keindahannya yang membuat seluruh dunia datang kepadanya. Melakukan perjalanan-perjalanan kecil sekalipun tak mengapa, melihat keindahan dunia ini, belajar dari alam, menghargai alam, melihat realita dunia ini. Apa lagi yang perlu kita tunggu? Aku selalu memikirkan itu, sampai terngiang di kepalaku "Aku tak perlu ijin dari siapapun untuk pergi kemana saja di negara ku ini."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar