Jumat, 31 Mei 2013

Perjalanan Musim Pengembaraan 2012




Sebuah lukisan Tuhan, selimut kabut
Hutanlah taman setiap rumah
Tanpa gaduh, bising riuh hiruk pikuk
Kedamaian dalam menyambut pagi
Ternyata benar kata orang
Indonesia bukan hanya pulau jawa
Terlalu kecil bagi pikiranku menerka
Keindahan pulau lain
Dan itulah tujuanku
Setidaknya akan kunikmati perjalanan di negeri orang ini
Perjalanan menuju Rajabasa - Bus
Sabtu, 7 Juli 2012

Aku berdiri di sini sekarang
Bukan di pasir putih yang indah
Bukan di pulau yang penuh sekegaran
Tapi di tanah gerik matahari
Tapi di pulau yang jauh dari kesegaran air
Siapa peduli?
Tawa dan kebersamaan ini sudah cukup
Jamuan hangat dan semangat ini terlalu indah
Bukan untuk menikmatinya
Setidaknya tidak sekarang
Berkatilah agar air ini juga bisa berarti
Tatkala mereka terlupakan
Mereka telah berada di surga mereka
Pulau pahawang
Kec. Punduh Pedada, Lampung Selatan

Warga ini menyambut penuh semangat
Mungkin sedikit harapan
Membenahi hidup mereka
Di sambut semilir angin
Tak jua membuat hati ini menjadi malas
Abrasi air laut yang terus menerpa
Sejak tahun 1950 mereka berpijak di tanah ini
Hilir mudik para pendatang
Tapi inilah pahawang
Mereka tetaplah kaum sosialis
Manusia pasti jua butuh manusia
Bukan di saat manis saja, pun saat pahit
Inilah kearifan lokal masyarakat indonesia
Kebersamaan dan kekeluargaan tanpa batas
Pahawang sore hari

Hari kedua di minggu pertama di bulan juli
Hari kedua menyatu dengan masyarakat pesisir ini
Hari kedua diriku menikmati kesunyian ini
Nikmat entah kenapa
Bukan hiruk pikuk saat mata ini terbuka
Bukan rutinitas gila dari masyarakat modern itu
Hamparan laut biru luas membentang
Membagi horizon ini antara langin dan laut
Nikmat, sungguh nikmat
Pagi hari di hari kedua
Dusun 4 Kalangan

Banyak orang mempertanyakan surga dunia
Sex, narkoba.. bukan itu kawan
Hamparan pasir putih disapu ombak
Desir angin meniup daun itu
Kicau burung menyapa
Pulau condong surga dunia.

Sahabat Para Pejalan
Seorang pejalan tidak akan pernah berhenti melangkahkan kakinya
Tak akan pernah berhenti mencari keindahan dunia ini
Tak akan pernah merasa cukup menatap tiap fajar
Mencumbui angin dan embun pagi hari

Seorang pejalan seharusnya memiliki ketidakpuasan
Walaupun melihat ribuan fajar terbit dan fajar terbenam
Walaupun menghirup nafas segar tiap subuh menggigit tulang
Karena seorang pejalan adalah manusia

Ternyata benar,
Apa yang mereka butuhkan bukan hanya alam itu
Bukan hanya kenikmatan mencumbui embun
Atau memuaskan tatapan mata saat fajar menyembul
Kawan seorang pejalan yang menghabiskan waktu bersamamu di alam
Itulah saudaramu
Dialah yang kau butuhkan
Untuk mengenang, untuk bersorak
Demi seorang pejalan, yang tidak lagi berjalan sendiri
Karena tiap langkah kakinya kini berlipat jumlahnya.

Inilah Pulau Condong!
Sore itu ketika aku tiba di pantai pasir putih menempuh jalanan neraka itu. Debu berterbangan dari truk-truk besar pengangkut batu bara, sungguh sesak, panas, mati! "Degedeg gedeg..", kapal nelayan berlayar, katanya sih di sini tempatnya kepiting dan cumi... "oke, jadi pak" selesai deal dengan harga perahu untuk menyebrang ke tujuan awal, Pulau Condong. 5 menit, 15 menit, 20 menit, tiba. Aneh, bukan keindahan yang pulau ini berikan di kesan awal, tapi mistis! Misterius! Bapak tua itu berdiri rapuh, renta, menatap kami yang masih sibuk menurunkan barang-barang. "sepuluh ribu per malam per orang." Padat, jelas dan tetap memberi kesan misterius. Memang, jiwa mahasiswa pas-pasan bergelora. "Ga bisa kurang pak?"  "yaudah adek tentuin aja, diomongin bareng-bareng dulu aja." Kemudian melenggang pergi menunggu di pondoknya. Langkah kaki masuk diiringi suara burung dan monyet dari pulau bak tidak berpenghuni ini. Imam si orang padang langsung menawar setengah harga. Oke, enam puluh ribu 2 hari untuk 6 orang. Sebenarnya kasihan betul bapak ini, seakan sendiri menunggu dan mengasuh pulau ini. Bak terkutuk di pulau ini.
Camp berdiri, yang lain memasak, aku dan imam berjalan mengecek pulau. Surutnya air laut membuat kami dapat mengitari pulau ini dengan lancar. "Gila!", gumamku terus menerus melihat keindahan dan kealamian surga ini. Terumbu karang nampak jelas dari gradasi warna air laut. Dari hijau, ke biru. Ini ga ada di jakarta kawan. Inilah yang membuat seorang pejalan tak akan pernah menghentikan langkahnya menyusuri keindahan alam yang ada di nusantara ini, yang ada didunia ini karena setiap melihat alam ini, ia akan melihat keagungan Sang Pencipta di dunia ini. Langkahku terus berjalan menyusuri pantai yang indah ini, sampai aku kembali ke camp kami yang telah berdiri, disambut anggta kelompok lain yang sedang memasak, menyiapkan santap malam.
"Belom nemu tebingnya nih.", setelah aku dan Imam menyusuri bibir di sekeliling pulau ini memang belum ada indikasi ada tebing yang nampak biasa dipanjat. Tebing-tebing di pulau ini rata-rata berada di atas, harus melewati hutan dan telah ditumbuhi semak belukar di sepanjang tebingnya. Setelah santap makan malam dan evaluasi, kamipun menyiapkan perencanaan esok hari untuk mencari kembali tebing yang dapat dipanjat.
Di ufuk fajar telah memberikan kehangatan yang kami sambut dengan seruput segelas kopi sambil menunggu nasi kami tanak dan lauk yang masih digoreng hangat. Tania telah sibuk dengan kamera dan tripod nya di bibir pantai, siap menangkap setiap keindahan mentari pagi yang begitu elok dan penuh semangat. Ternyata eksotisme matahari di pagi memiliki filosofi yang begitu berbeda dengan saat matahari yang sama terbenam. Sebuah awal yang baru, dengan penuh semangat menyinari hari kami yang penuh semangat menggapai tebing-tebing cadas di pulau ini. Mencoba belajar dari keeksotismean pulau ini, kesunyian dan kearifan dari Pulau Condong ini. Siap dengan peralatan pemanjatan, Faris, aku dan Imam serta Harya membawa 4 cariel penuh peralatan ke bagian timur pulau mencari tebing melewati rekahan karang membentuk goa sampai di sebuah bibir pantai dengan pintu rimba di depan mata. "Kayaknya ini deh tebingnya.", seru Imam, yang sebelumnya melihat foto pemanjatan KAPA di tahun 90-an akhir. Yakin dengan hasil foto yang aku search di google, akhrinya kami bersiap melakukan pemanjatan. Harya bertugas nge-lead, aku dan Faris menyiapkan alat, Imam bersiap belaying. Pite juga membantu persiapan alat, sedangkan Tania tetap dengan tugasnya bersama kameranya.
Di awal, tidak begitu sulit sampai pitch 1. Medan yang dilalui tergolong landai dan banyak pijatan. Kendala yang dijumpai adalah tekstur tebing yang banyak tanah dan batu lepas. Setelah Harya selesai ngelead sampai pitch 1, giliran yang lain untuk menyusul Harya ke pitch 1. Tidak begitu lama untuk anggota yang lain mencapai pitch 1. Setelah pitch 1, nampak jalur sport yang ternyata sangat sulit bagi kami untuk dapat memanjatnya. Posisi pitch 1 yang sempit dan tekstur tebing yang merupakan batuan magma dengan cacat tebing patahan tajam sekitar sembilan puluh derajat, ibarat point, hanya point cubit semua yang hanya cukup untuk ujung jari kami. Setelah pembahasan dan manajemen waktu akhirnya kami memutuskan untuk mencoba tebing ini dengan time limit. Namun sayang, sampai time limit yang kami tentukan, kami belum mencapai pitch 2. Akhirnya kami memutuskan untuk cleaning jalur dan bersiap kembali ke camp. Sempat hampir terjadi kecelakaan saat Harya cleaning jalur dan Tania ngebelay, batu yang diinjak Harya ternyata batu lepas dan dari ketinggian sekitar 20 meter harya teriak "Rooocccckkkk!!!", Sontak aku yang berada di bawah bersama Tania melihat ke atas, dan sempat tercengang. Batu seukuran 2 kali ukuran kepala orang dewasa menggelinding ke bawah menabrak tebing sebelum akhirnya jatuh dan pecah persis di antara aku dan Tania. Oke, kami masih beruntung tidak terkena kami. Tania sempat shock dan aku bilang kepadanya untuk merapikan alat ke dalam carrier di ujung tebing.
Selesai dengan peralatan dan check list, kami kembali ke camp sambil mengumpulkan kayu bakar untuk kami bakar malam hari nanti. Memasak di kesunyian malam, ditemani kawan-kawan seperjuanganku memang begitu menyenangkan. Bukan menyenangkan, ini akan menjadi kenangan dalam hidupku. Memang, ini bukan pertama kalinya aku menghabiskan waktu di alam bersama kawan-kawan ku. Namun, percayalah seorang kawan yang melewati segalanya di alam bersamamu adalah saudaramu! Kembali kami tidur ditemani kesunyian malam, yang terkadang terdengar bunyi kapal nelayan, burung-burung dari hutan dibelakang kami, sunyi, tenang, horror, mencekam, damai, misterius. Itulah perasaan setiap malam kami di pulau ini, apalagi bila mengingat Imam dan Harya yang menemukan 3 makam di puncak pulau ini dan kejadian aneh dengan monyet-monyet di dekat makam tadi siang. Oke, apapun yang terjadi setidaknya aku bersama kawan-kawanku, saudara-saudaraku. Bagi seorang manusia yang mengagumi alam, akan terasa begitu nikmat saat menikmatinya bersama dengan kawan-kawanmu, saudaramu.
Andre,
K-286-11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar