Sebuah lukisan Tuhan, selimut kabut
Hutanlah taman setiap rumah
Tanpa gaduh, bising riuh hiruk pikuk
Kedamaian dalam menyambut pagi
Ternyata benar kata orang
Indonesia bukan hanya pulau jawa
Terlalu kecil bagi pikiranku menerka
Keindahan pulau lain
Dan itulah tujuanku
Setidaknya akan kunikmati perjalanan di negeri orang ini
Perjalanan menuju
Rajabasa - Bus
Sabtu, 7 Juli 2012
Aku berdiri di sini sekarang
Bukan di pasir putih yang indah
Bukan di pulau yang penuh sekegaran
Tapi di tanah gerik matahari
Tapi di pulau yang jauh dari kesegaran air
Siapa peduli?
Tawa dan kebersamaan ini sudah cukup
Jamuan hangat dan semangat ini terlalu indah
Bukan untuk menikmatinya
Setidaknya tidak sekarang
Berkatilah agar air ini juga bisa berarti
Tatkala mereka terlupakan
Mereka telah berada di surga mereka
Pulau pahawang
Kec. Punduh Pedada,
Lampung Selatan
Warga ini menyambut penuh semangat
Mungkin sedikit harapan
Membenahi hidup mereka
Di sambut semilir angin
Tak jua membuat hati ini menjadi malas
Abrasi air laut yang terus menerpa
Sejak tahun 1950 mereka berpijak di tanah ini
Hilir mudik para pendatang
Tapi inilah pahawang
Mereka tetaplah kaum sosialis
Manusia pasti jua butuh manusia
Bukan di saat manis saja, pun saat pahit
Inilah kearifan lokal masyarakat indonesia
Kebersamaan dan kekeluargaan tanpa batas
Pahawang sore hari
Hari kedua di minggu pertama di bulan juli
Hari kedua menyatu dengan masyarakat pesisir ini
Hari kedua diriku menikmati kesunyian ini
Nikmat entah kenapa
Bukan hiruk pikuk saat mata ini terbuka
Bukan rutinitas gila dari masyarakat modern itu
Hamparan laut biru luas membentang
Membagi horizon ini antara langin dan laut
Nikmat, sungguh nikmat
Pagi hari di hari kedua
Dusun 4 Kalangan
Banyak orang mempertanyakan surga dunia
Sex, narkoba.. bukan itu kawan
Hamparan pasir putih disapu ombak
Desir angin meniup daun itu
Kicau burung menyapa
Pulau condong surga dunia.
Sahabat Para Pejalan
Seorang pejalan tidak akan pernah berhenti melangkahkan
kakinya
Tak akan pernah berhenti mencari keindahan dunia ini
Tak akan pernah merasa cukup menatap tiap fajar
Mencumbui angin dan embun pagi hari
Seorang pejalan seharusnya memiliki ketidakpuasan
Walaupun melihat ribuan fajar terbit dan fajar terbenam
Walaupun menghirup nafas segar tiap subuh menggigit tulang
Karena seorang pejalan adalah manusia
Ternyata benar,
Apa yang mereka butuhkan bukan hanya alam itu
Bukan hanya kenikmatan mencumbui embun
Atau memuaskan tatapan mata saat fajar menyembul
Kawan seorang pejalan yang menghabiskan waktu bersamamu di
alam
Itulah saudaramu
Dialah yang kau butuhkan
Untuk mengenang, untuk bersorak
Demi seorang pejalan, yang tidak lagi berjalan sendiri
Karena tiap langkah kakinya kini berlipat jumlahnya.
Inilah Pulau Condong!
Sore itu ketika
aku tiba di pantai pasir putih menempuh jalanan neraka itu. Debu berterbangan
dari truk-truk besar pengangkut batu bara, sungguh sesak, panas, mati!
"Degedeg gedeg..", kapal nelayan berlayar, katanya sih di sini
tempatnya kepiting dan cumi... "oke, jadi pak" selesai deal dengan
harga perahu untuk menyebrang ke tujuan awal, Pulau Condong. 5 menit, 15 menit,
20 menit, tiba. Aneh, bukan keindahan yang pulau ini berikan di kesan awal,
tapi mistis! Misterius! Bapak tua itu berdiri rapuh, renta, menatap kami yang
masih sibuk menurunkan barang-barang. "sepuluh ribu per malam per
orang." Padat, jelas dan tetap memberi kesan misterius. Memang, jiwa
mahasiswa pas-pasan bergelora. "Ga bisa kurang pak?" "yaudah adek tentuin aja, diomongin
bareng-bareng dulu aja." Kemudian melenggang pergi menunggu di pondoknya.
Langkah kaki masuk diiringi suara burung dan monyet dari pulau bak tidak
berpenghuni ini. Imam si orang padang langsung menawar setengah harga. Oke,
enam puluh ribu 2 hari untuk 6 orang. Sebenarnya kasihan betul bapak ini, seakan
sendiri menunggu dan mengasuh pulau ini. Bak terkutuk di pulau ini.
Camp berdiri,
yang lain memasak, aku dan imam berjalan mengecek pulau. Surutnya air laut
membuat kami dapat mengitari pulau ini dengan lancar. "Gila!",
gumamku terus menerus melihat keindahan dan kealamian surga ini. Terumbu karang
nampak jelas dari gradasi warna air laut. Dari hijau, ke biru. Ini ga ada di
jakarta kawan. Inilah yang membuat seorang pejalan tak akan pernah menghentikan
langkahnya menyusuri keindahan alam yang ada di nusantara ini, yang ada didunia
ini karena setiap melihat alam ini, ia akan melihat keagungan Sang Pencipta di
dunia ini. Langkahku terus berjalan menyusuri pantai yang indah ini, sampai aku
kembali ke camp kami yang telah berdiri, disambut anggta kelompok lain yang
sedang memasak, menyiapkan santap malam.
"Belom nemu
tebingnya nih.", setelah aku dan Imam menyusuri bibir di sekeliling pulau
ini memang belum ada indikasi ada tebing yang nampak biasa dipanjat.
Tebing-tebing di pulau ini rata-rata berada di atas, harus melewati hutan dan
telah ditumbuhi semak belukar di sepanjang tebingnya. Setelah santap makan
malam dan evaluasi, kamipun menyiapkan perencanaan esok hari untuk mencari
kembali tebing yang dapat dipanjat.
Di ufuk fajar
telah memberikan kehangatan yang kami sambut dengan seruput segelas kopi sambil
menunggu nasi kami tanak dan lauk yang masih digoreng hangat. Tania telah sibuk
dengan kamera dan tripod nya di bibir pantai, siap menangkap setiap keindahan
mentari pagi yang begitu elok dan penuh semangat. Ternyata eksotisme matahari
di pagi memiliki filosofi yang begitu berbeda dengan saat matahari yang sama
terbenam. Sebuah awal yang baru, dengan penuh semangat menyinari hari kami yang
penuh semangat menggapai tebing-tebing cadas di pulau ini. Mencoba belajar dari
keeksotismean pulau ini, kesunyian dan kearifan dari Pulau Condong ini. Siap
dengan peralatan pemanjatan, Faris, aku dan Imam serta Harya membawa 4 cariel
penuh peralatan ke bagian timur pulau mencari tebing melewati rekahan karang
membentuk goa sampai di sebuah bibir pantai dengan pintu rimba di depan mata.
"Kayaknya ini deh tebingnya.", seru Imam, yang sebelumnya melihat
foto pemanjatan KAPA di tahun 90-an akhir. Yakin dengan hasil foto yang aku
search di google, akhrinya kami bersiap melakukan pemanjatan. Harya bertugas
nge-lead, aku dan Faris menyiapkan alat, Imam bersiap belaying. Pite juga
membantu persiapan alat, sedangkan Tania tetap dengan tugasnya bersama
kameranya.
Di awal, tidak
begitu sulit sampai pitch 1. Medan yang dilalui tergolong landai dan banyak
pijatan. Kendala yang dijumpai adalah tekstur tebing yang banyak tanah dan batu
lepas. Setelah Harya selesai ngelead sampai pitch 1, giliran yang lain untuk
menyusul Harya ke pitch 1. Tidak begitu lama untuk anggota yang lain mencapai pitch
1. Setelah pitch 1, nampak jalur sport yang ternyata sangat sulit bagi kami
untuk dapat memanjatnya. Posisi pitch 1 yang sempit dan tekstur tebing yang
merupakan batuan magma dengan cacat tebing patahan tajam sekitar sembilan puluh
derajat, ibarat point, hanya point cubit semua yang hanya cukup untuk ujung
jari kami. Setelah pembahasan dan manajemen waktu akhirnya kami memutuskan
untuk mencoba tebing ini dengan time limit. Namun sayang, sampai time limit
yang kami tentukan, kami belum mencapai pitch 2. Akhirnya kami memutuskan untuk
cleaning jalur dan bersiap kembali ke camp. Sempat hampir terjadi kecelakaan
saat Harya cleaning jalur dan Tania ngebelay, batu yang diinjak Harya ternyata
batu lepas dan dari ketinggian sekitar 20 meter harya teriak "Rooocccckkkk!!!",
Sontak aku yang berada di bawah bersama Tania melihat ke atas, dan sempat
tercengang. Batu seukuran 2 kali ukuran kepala orang dewasa menggelinding ke
bawah menabrak tebing sebelum akhirnya jatuh dan pecah persis di antara aku dan
Tania. Oke, kami masih beruntung tidak terkena kami. Tania sempat shock dan aku
bilang kepadanya untuk merapikan alat ke dalam carrier di ujung tebing.
Selesai dengan
peralatan dan check list, kami kembali ke camp sambil mengumpulkan kayu bakar
untuk kami bakar malam hari nanti. Memasak di kesunyian malam, ditemani
kawan-kawan seperjuanganku memang begitu menyenangkan. Bukan menyenangkan, ini
akan menjadi kenangan dalam hidupku. Memang, ini bukan pertama kalinya aku
menghabiskan waktu di alam bersama kawan-kawan ku. Namun, percayalah seorang
kawan yang melewati segalanya di alam bersamamu adalah saudaramu! Kembali kami
tidur ditemani kesunyian malam, yang terkadang terdengar bunyi kapal nelayan,
burung-burung dari hutan dibelakang kami, sunyi, tenang, horror, mencekam, damai,
misterius. Itulah perasaan setiap malam kami di pulau ini, apalagi bila
mengingat Imam dan Harya yang menemukan 3 makam di puncak pulau ini dan
kejadian aneh dengan monyet-monyet di dekat makam tadi siang. Oke, apapun yang
terjadi setidaknya aku bersama kawan-kawanku, saudara-saudaraku. Bagi seorang
manusia yang mengagumi alam, akan terasa begitu nikmat saat menikmatinya
bersama dengan kawan-kawanmu, saudaramu.
Andre,
K-286-11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar