Rabu, 17 Juli 2013

JURNAL MP CAVING 2013



Menjadi bagian dari masyarakat Desa Kalak, Dusun Petung yang penuh kesederhanaan sungguh membuat kami menjadi sungkan bertamu di sini. Setelah melewati malam yang sangat merepotkan kemarin, dijemput oleh Pak Parni, yang baru diketahui dia adalah Kepala Dusun Petung yang akan kami singgahi nanti. Beliau menempuh belasan kilometer melewati bukit di tengah hutan dan gelap serta dinginnya malam sehabis hujan malam itu. Kami tiba pukul setengah sebelas malam disambut kehangatan Bu Parni dengan segelas teh hangat. Merasa kami disambut benar di Dusun ini, maka sepakatlah kami untuk mengangkat beliau menjadi bapak selama kami di dusun ini.

Pagi di hari kedua sesuai dengan objektif musim pengembaraan divisi caving kali ini, kami melakukan kegiatan sosped ke masyarakat desa, mencari hal berkenaan dengan gua, manfaat bagi masyarakat, atau bahkan sekedar merasakan kearifan lokal dari masyarakat desa yang asing bagi kami manusia kota. Aku berjalan tanpa arah mengikuti bukit yang terhampar luas di seluruh desa ini. Dan sampailah aku di Dusun Nasri, dusun sebelah Dusun Petung yang dikepalai Pak Parni. Aku berkunjung ke Kasun Nasri, Pak Sutrisno jenenge. Ternyata beliau masih adik ipar Pak Parni. Aku yang sekedar main dijamu dengan baik, sebagai orang asing aku terhitung disambut dan dijamu dengan sangat baik dan lagi ramah. Segelas teh cukup membuat obrolan kami cair dengan Bahasa Indonesia beliau yang pas-pasan serta bahasa jawaku yang juga pas-pasan. Beliau tidak pernah mengenyam bangku sekolahm emnjadi kasun atas kesepakatan warga dusun. Aku bertanya seputar hal berkenaan dengan gua-gua di sini. Manfaat bagi mereka, bantuan pemerintah, sosial pedesaan di sini, sampai cerita rakyat yang tidak berani beliau ceritakan. Sangat tabu bagi masyarakat desa menceritakan hal tersebut. Namun lukisan dirumahnya yang bergambar buta ireng dikelilingi hewan seperti ular, monyet, naga, macan, kuda dan yang lain seakan memiliki arti kuat di dusun ini mengingat beliau adalah kasun atau kepala dusun. Cukup aneh ada mitologi hewan-hewan seperti naga yang tergambar di lukisan jawa. Karena setahuku sosok naga hanya ada di mitologi negeri tirai bambu. Ini mengindikasikan adanya perpaduan budaya atau akulturasi dari budaya Negeri Cina dengan Suku Jawa sejak dulu kala. Cerita rakyat itu selalu diturunkan dari generasi ke generasi, tidak ada bukti otentik, tidak ada tulisan atau hal nyata yang dapat menjelaskan keabsahan cerita rakyat ini.

Siang datang, Adnan telah selesai mengurus perijinan dari Kota Pacitan yang telah pergi dari pagi buta tadi dan kamipun bersiap-siap untuk melakukan penelusuran Gua Jenggung. Gua adalah istilah untuk rekahan bumi berbentuk horizontal, proses terbentuknya umumnya berasal dari aliran sungai purba ang menghilang. Selama jutaan tahun mengikis struktur batuan bawah tanah, membentuk lorong-lorong misterius yang sangat ingin untuk ditelusuri. Jarak gua ini tidak begitu jauh dari rumah Pak Parni, kondisi medannya yang menuruni bukit membuat aku membayangkan gua ini seakan berada tepat di bawah Dusun Petung ini. Tiba di pinggir mulut gua, aku melihat banyak masyarakat yang mandi di mata air dekat jalur masuk gua. Uniknya, yang mandi di sana berisikan laki dan perempuan yang dengan seenaknya mandi tanpa penutup badan sedikitpun. Kamipun menjadi sungkan bukan kepalang ada pemudi dan ibu-ibu tetap mandi tanpa penutup badan. Ini juga salah satu kearifan lokal desa ini. Masuk menuruni jalur ke mulut gua, kami harus scrambling karena perbedaan dari jalur masuk sampai ke mulut gua sekitar 70 meter dan sudut kemiringan sampai 45 derajat. Kami harus menggunakan webbing yang dibentuk stair up untuk membantu kami menuruni bukit karst ini. Mirisnya jalur ini dipenuhi sampah masyarakat. Tampaknya mereka masih memiliki kesadaran yang rendah akan sampah. Setelah menghabiskan waktu 1 jam untuk turun ke mulut gua, sepanjang jalan kami dibuat tercengang dengan hamparan flowstone putih yang dialiri air seperti hal magis yang tampak begitu memukai di mataku. Susunan flowstone itu layaknya istana dari kemegahan Gua Jenggung ini. Kesan pertama saat melihat gua ini akan tampak kemegahan dan keperkasaannya. Sungguh perasaan yang sulit digambarkan.

Kegiatan mapping dimulai dari mulut gua yang bak mulut dipenuhi taring stalaktit dan stalakmit. Ratusan sodastraw tumbuh acak membuat susunan yang eksotis untuk dilihat. Begitu melewati mulut gua, chamber besar langsung menyambut. Luasnya hampir setengah lapangan bola. Napas terasa sesak akibat bau guano dan debu yang berterbangan. Di ujung chamber terhampar jurang yang begitu gelap dan dalamnya sampai-sampai tidak tampak ujungnya. Bahkan senter kami yang peling terang sekalipun tidak dapat mengintip ujung jurang ini. Kami menuruni jurang itu dengan bantuan stair up dari sisi barat, turun melewati waterfall dari flowstone yang begitu berkilai. Sekitar dua belas meter dari permukaan chamber. Sampai di dasar beberapa orang mencari jalur ke depan, dan barulah aku sadar betapa besarnya lorong ini saat senter-senter orang menerangi seisi lorong ini. Di ujung lorong kami berhenti di danau bawah tanah yang sangat eksotis. Warna airnya hijau namun tidak begitu keruh, dari hasil penerangan kami ujungnya masih panjang. Aku langsung teringat film tentang cave diving itu. Sungguh, Gua Jenggung memiliki cerita yang sangat mengesankan.

Hari ketiga di Dusun Petung. Kami bersiap menelusur Luweng Ombo. Luweng sedalam 120 meter dengan diameter luasnya hampir 90 meter kira-kira. Luweng ini terbentuk dari rekahan yang jatuh atau sering disebut juga sinkhole. Di dasarnya tampak disesaki hutan purba yg lebat. dan suara aliran air seperti sungai di bawahnya. Tim pertama berangkat lebih awal untuk persiapan rigging dan persiapan penelusuran. sampai jam 14.00 persiapan selesai, itu sekitar 4 jam lamanya. Cukup lama. Saat semua persiapan selesai dan ingin turun tiba-tiba Adnan sebagai leader lemas teringat pesan ibunya yang menelpon sesaat sebelum ia turun, untuk tidak melakukan kegiatan berbahaya. Memang di sini mental diuji betul. Menuruni lubang vertikal sedalam 120 meter bukan perkara enteng bagi orang umum. Hampir 1 jam sampai aku bisa meyakinkan dia untuk tetap turun. Just take it or leave it. Kalian yg menyiapkan ini semua kalau sekarang mau pulang, just leave, clean it and we go home. Sontak dia meyakinkan jiwanya untuk tetap turun. akhirnya jam 16.00 Adan mulai turun. Namun sampai di sambungan tali pertama Adnan mengalami trouble. Autostopnya fail. Kuncinya terbuka akibat beban tali yang besar. Autostopnya terbuka dan rusak. Belum lagi, salah satu carabiner snap miliknya yang terjatuh akibat panik. Akhirnya Adnan memutuskan untuk naik kembali dan penelusuran ditunda sampai besok. Namun setelah naik, dan mendengarkan kronologis yang diceritakan Adnan, ternyata kesalahan bukan pada alat, namun pada penggunaannya. Saat autostop dibuka, posisinya masih terbeban beban tubuh. Beban belum dipindahkan ke croll. Kesalahan fatal yang bisa berakibat yang tidak mau aku bayangkan. Faris sebagai Kadiv memarahinya dan memberikan sanksi seri kepada Adnan.

Ada cerita lucu selama kegiatan rigging siang tadi. Pak Parni sebelumnya berpesan untuk hati-hati karena suka ada orang gila yang datang untuk memalak uang. Dan benar saja, dengan baju lusuh dan bolong serta gelas air kemasan yang diikat di sabuk dari tali rafia itu, dia duduk dekat camp kami. Ia mencoba berkomunikasi dengan bahasa jawanya, aku sebagai anggota tim yg mengerti bahasa jawa menjawab pertanyaan dia sambil tetap siaga kalau-kalau dia melakukan hal bodoh yang membahayakan kami dan anchor kami. Entah kenapa kami yang baru 2 hari di sini sudah seperti kenal dengan semua warga. Beberapa warga yang lewat dan melihat kami menyempatkan untuk menghampiri kami. Sekedar menanyakan kami dari mana dan ada juga yang mengingatkan kami untuk waspada terhadap orang gila itu. Yang lebih aneh, aku rasa kabar mengenai keberadaan kami tim dari jakarta sudah menyebar ke dusun-dusun yang sangat luas ini. Batas antar dusunnya saja sudah merupakan bukit-bukit. Setiap orang yang papasan dengan kami, mengetahui bahwa kami adalah tamu Pak Parni yang hendak turun ke Luweng Ombo. Memang sebelumnya banyak kelompok pencinta alam datang untuk mengurai rasa penasaran dari kemegahan Luweng Ombo ini. Aku melihatnya daftarnya di buku tamu milik Pak Parni.

Setelah selesai clean alat, kami pulang ke rumah Pak Parni. Sayang hari ini Faris sakit sehingga kondisinya tidak fit untuk melanjutkan eksplorasi. Di rumah Pak Parni seperti biasa kami leyeh-leyeh sambil mengobrol dengan beliau. Setiap kali kami datang entah kenapa beliau selalu hangat menyambut, menanyakan bagaimana hari ini, tidak lupa mendoakan setiap kami akan berangkat. Sosok kebapakkan sekali beliau. Sekitar jam 8 berkumpul ibu-ibu yang dugaku adalah seisi dusun ini. Mereka datang untuk mengambil jatah sembako beras sumbangan dari pemerintah. Pak Parni sebagai kasun tidak sedikitpun menyimpan atau meminta lebih. Semua sama. Hal yang cukup jarang ada di masyarakat kota, di mana para pejabat pemerintah sibuk memperkaya diri selama masih memangku kekuasaan. Selama aku bertamu di sini aku menganalisa kebudayaan jawa yang terasa sangat kental. Di mana para perempuan yang tidak pernah duduk setara dengan laki laki. Para perempuan bahkan Bu Parni hanya sibuk di dapur, memasak atau melakukan apapun di dapur sepanjang hari. Bahkan kalau ada tamu pun Bu Parni hanya diam mendengarkan di bawah lantai bersama kami. Salah satu kebudayaan jawa yang aku rasakan betul.

Hari keempat di kesederhanaan Desa Kalak, kami yang semalam cukup istirahat sudah terjaga pukul 05.00 pagi, bersiap untuk meneruskan misi kami untuk menelusur Luweng Ombo. Tim pertama yang tinggal menyisakan aku dan Kiky di rumah Pak Parni sudah berangkat dari pukul 06.00 untuk menyiapkan rigging-an kembali. Cuaca mendung ini seakan tidak bersahabat. dan benar saja, tidak lama dari keberangkatan tim 1 hujan mulai turun gerimis deras, "Sial, pasti ngaret lagi nih explore nya", pikirku. Aku bertugas memasak sarapan untuk seluruh tim harus menunggu sampai hujan reda untuk menyusul ke mulut gua. Saat selesai masak dan hendak berangkat kami tidak diijinkan jalan Pak Parni bila kami belum sarapan dulu, padahal perencanaannya kami semua akan makan bersama di mulut gua. Akhirnya kami sarapan dengan lauk yg kami masak, tiba-tiba Bu Parni menaruh seceplok telor di piringku, sungguh baiknya orang-orang ini. Padahal, kondisi mereka tidak berlebih, cukup untuk kehidupan sederhana orang tua yang telah ditinggal anak-anaknya.
Selesai sarapan dan mengobrol sebentar, aku dan Kiky berangkat ke lokasi gua berbarengan dengan Pak Parni yang pergi mengarit. Sekitar jam 10.00 aku tiba, rigging-an belum juga siap, entah kenapa anak-anak ini begitu lama menyiapkannya. Padahal posisi rigging tidak diganti. Jam 11.00 lintasan sudah siap, dan Adnan bersiap untuk turun. Dia lebih mantap kali ini, "Semoga saja kali ini tidak ada trouble yang berarti.", harapku. Adnan menjadi leader, membawa beberapa peralatan penelusuran kelompok, makanan, minuman yang dimasukkan ke dalam ransel yang dibawanya. Tidak lama ia lalu turun, dan Kanya bersiap-siap untuk menjadi yang berikutnya turun. Tidak lama, Adnan terlihat kembali naik saat aku mengecek lintasan. Aku kembali heran, kenapa dia naik lagi dan tidak melanjutkan turun. Saat di atas, Adnan mengatakan tidak mau turun lagi, capek katanya. "Apa-apaan ini?!". Tangannya sudah keram, entah karena keletihan atau memang masalah mental di sini.
Akhirnya, perencanaan berubah. Asrul menjadi orang yang turun pertama, agar saat Kanya turun tidak sendirian, maklum dia masih bocah perempuan yang baru belajar dari alam ini. Asrul kemudian turun, dengan perasaan berdebar dan gemetar menjadi orang pertama untuk menuruni luweng ini. Sekitar 45 menit kemudian, Asrul sudah sampai bottom. Untungnya ia tidak mengalami trouble. Sekarang giliran Kanya yang turun, waktu sudah menunjukkan pukul 14.00, matahari mulai lelah dan harus tidur. Menyisakan kesunyian, dan kegelapan yang sungguh diam, dingin, misterius. Kanya sampai di bottom sekitar pukul 16.00, kemudian dilanjutkan Faris turun untuk mengibarkan bendera merah putih dan bendera KAPA di lintasan untuk difoto. Objektif tercapai, bendera berhasil berkibar walaupun ukurannya terlalu kecil untuk dapat direkam oleh kamera DSLR dengan lensa wide fix yang dibawa Kanya. Eksplorasi kemudian dilanjutkan oleh Kiky lalu Cindy. Cindy berhasil mencapai bottom sekitar pukul 22.00. Melihat kondisi di mana sudah terlalu larut dan ngaret untuk Adnan turun, aku menginstruksikannya untuk tetap di atas menunggu tim pertama selesai eksplorasi dan naik, baru dirinya turun. Menurutku itu adalah konsekuensi bagi dirinya karena tidak jadi turun saat gilirannya.

Malam sekitar pukul 01.00 Faris naik, menyisakan Asrul, Kiky, Kanya dan Cindy di bawah. Pertimbangan Faris naik terlebih dulu, untuk menyiapkan sistem vertical rescue kalau-kalau ada anggota tim yang harus di-rescue. Setelah naik, sisa tim yang masih di bawah melakukan eksplor gua untuk menari 'lorong barat daya' yang diceritakan anak Mahipa Ponorogo dan Imapala Uhamka. Mereka mengatakan ada sistem gua lagi dari lorong itu. Akhirnya tim melakukan eksplor sambil mendata flora dan fauna yang didapati. Flora di dasar gua banyak berupa pakis, talas, dan lumut-lumutan. Kondisi batuan masih labil dan rawan longsor. Dasar tempat lintasan kami berada di tanah yang lembab, kondisi di dasar gua lembab dan basah akibat rembesan air tanah yang selalu menetes layaknya hujan. Di dasar gua, didapati bangkai motor, tulang-belulang hewan seperti kambing dan kerbau lengkap dengan tandukya. Beberapa sampah manusia, dan terakhir diketahui Cindy melihat ular di dekat lintasan kami. Di dasar gua yang bentuknya menyerupai botol ini memiliki sekitar 4 lorong gua yang jalannya berlumpur dan mengharuskan tim untuk scrambling  untuk dapat menuruninya. Diperlukan ettrier atau stair up untuk membantu tim menuruni lorong ini. Setelah selesai melakukan eksplor dan mengabadikan beberapa foto untuk data divisi, tim memutuskan untuk naik diawali oleh Kiky sekitar pukul 03.00 dini hari. Kiky naik tanpa trouble, sekitar pukul 05.00 kemudian dilanjutkan Asrul yang naik sampai pukul 07.00. Sehingga menyisakan Cindy dan Kanya di bottom.

Perencanaan-perencanaan berikutnya bersifat taktis, karena Adnan tidak menyiapkan skenario sama sekali untuk kondisi seperti ini. Kiky dan Asrul ditugaskan untuk kembali ke rumah Pak Parni, membuat sarapan. Sedangkan Adnan bersiap-siap untuk turun setelah sarapan. Sekitar pukul 09.00 Adnan turun dan akhirnya sampai juga di bottom setelah tiga kali mencoba. Adnan turun membawa perbekalan seperti makanan dan air minum yang sangat minim. Uniknya di Dusun Petung ini, air dari gua yang masih mengandung air kapur dimasak untuk dikonsumsi. Rasanya aneh, dan pedas akibat adanya kandungan Kalsium di dalamnya. Sekitar jam 11.00 setelah sarapan, giliran Kanya untuk naik. Sambil menunggu Kanya naik, aku dan yang lain mengobrol-ngobrol santai saja. Mulai dari curhat, membahas sistem-sistem yang ada di KAPA sampai fokus divisi setelah menyelesaikan MP ini. Saat asik mengobrol, datang segerombolan lelaki yang datang ke camp kami untuk melihat kegiatan penelusuran kami. Ada bapak-bapak warga sekitar, ada supir pembawa garam dari Gresik, jumlahnya sekitar 5 orang. Walaupun mereka mengaku orang asli Pacitan, mereka belum pernah masuk gua sama sekali. Walaupun gua horizontal sekalipun. Menurut mereka, gua masihlah hal yang mistis, dan tidak ada gunanya untuk dimasuki. Berbeda dengan beberapa orang di desa di bagian lebih barat yang sudah memanfaatkan gua untuk dieksploitasi sumber daya hayatinya. Rata-rata mereka mencari sarang burung walet untuk dijual. (bersambung..)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar