Sabtu, 21 Desember 2013

Brigade 04: Sebuah satuan aksi mahasiswa teknik, atau hanya isapan jempol belaka?

 Brigade merupakan suatu kesatuan aksi mahasiswa yang memiliki ruang gerak di UI. Tugasnya menjadi pusat gerak dari mahasiswa UI dalam menanggapi isu-isu kampus, nasional, regional, atau bahkan internasional. Kesatuan ini sebenarnya (khususnya di FTUI) berawal dari nama Teknik Ranger. Itu adalah ujar dari seorang alumni masa awal pergerakan mahasiswa tahun 60-70an. Teknik Ranger ini berkoordinasi dengan kesatuan aksi yang ada di lingkup kampus di Indonesia, Jakarta khususnya. Menurut Aswil Nazir, Teknik Ranger bermula atas gagasan salah satu mahasiswa Teknik Mesin tahun 64, Bang Ide Safridin Rahman[1]. Pada era itu, masa orde lama. Isu mengenai gerakan partai komunis mulai menyeruak ke masyarakat. Berdasarkan artikel-artikel sejarah ada kaitannya dengan konspirasi Amerika, dalam usahanya menjauhkan Indonesia yang meruapakan potensi kerja sama ekonomi penting dengan Uni Soviet (Rusia saat ini). Amerika tidak mau Indonesia bergerak lebih condong ke arah Uni Soviet karena akan membuat penguasaan daerah Asia-Pasifik menjadi sulit. Hal ini membuat Amerika, CIA khususnya membuat suatu penyebaran isu dan 'permainan propaganda' untuk menghancurkan pengaruh komunis di Indonesia.

Pada jaman orde lama, Soekarno sangat dekat hubungannya dengan pejabat Uni Soviet Hal ini dibuktikan dengan adanya bentuk kerja sama penjualan kapal perang canggih[2] (KRI Ratulangi) yang hanya mampu diproduksi Uni Soviet saat itu ke Indonesia, yang nantinya digunakan pada operasi Trikora untuk membebaskan Irian Barat dari pengaruh Belanda. Beberapa pejabat dari kalangan militer digerakkan oleh sekelompok golongan untuk mulai menghancurkan era Soekarno. Dimulai dengan penekanan kepada Presiden Soekarno menandatangani surat Super Semar[3] yang konon katanya dengan menodongkan pistol[4]. Bahkan menurut majalah Tempo, keberadaan surat Super Semar itu hingga kini masih rancu (keasliannya menurut ANRI) dan isinyapun rancu. Yang jelas, setelah kejadian itu membuat Soeharto dan militer menjadi memiliki kuasa lebih hingga sampai beliau mampu menunggangi kursi kepresidenan menggantikan Soekarno. Pergerakan mahasiswa saat itu dimulai dari pergerakan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang kemudian disusul dengan bergabungnya kesatuan aksi lainnya seperti KAPI, KAPPI, dan lainnya setelah kejadian Gestapu 30/S atau G30/S PKI.
                                               Sumber: satya-kumara.blogspot.com

Wacana pendirian Teknik Rangers sesungguhnya telah dimulai sejak pecahnya pemberontakan Gestapu PKI di tahun 1965. Pada masa tersebut mahasiswa UI mulai turun ke jalan dan sejumlah aktifis termasuk mahsiswa FT sudah tidak pernah lagi pulang ke rumah. Mereka bercokol dan bertahan di kampus (fakultas kedokteran) untuk menyikapi situasi yang tidak menentu. Aktifis mahasiswa FT pun bergabung dengan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang belakangan menjadi salah satu penggerak utama gerakan mahasiswa. Ketika Lasykar Ampera terbentuk, mahasiswa FT merasa terpanggil untuk ikut bergabung. Lasykar Ampera terdiri dari inti-inti (ibarat kompi-kompi di dunia militer). Kelompok mahasiswa FH dinamai INTI VIII, dan FT dinamai INTI IX. Pembentukan lasykar konon adalah agar perjuangan mahasiswa saat itu lebih terkoordinir dan tidak liar. Belakangan kelompok mahasiswa Teknik (INTI 9) diberi julukan Teknik Rangers dengan komandannya yang terplilih Ide S.R. (M’64).[5]

Memang sudah sejak awal, mahasiswa Teknik turut mengambil alih dalam mengawal isu-isu nasional yang tidak sedikit menjadi momentum krusial bagi perkembangan dan sejarah Indonesia. Mahasiswa Teknik memang bergerak secara bringas, berani dan tanpa muatan politik dari golongan tertentu yang trendnya kini memboncengi pergerakan mahasiswa untuk membentuk opini publik. Seperti misalnya pada era orde baru, mahasiswa Teknik menurut penuturan beberapa alumni era 90-an akhir menjadi garda terdepan dan barisan pengawal demonstrasi mahasiswa UI ke gedung 'terhormat' DPR, hingga mampu menduduki gedung kembar itu yang membuat presiden Soeharto mundur dari jabatannya sebagai presiden Indonesia setelah mempimpin selama 32 tahun lamanya. Mahasiswa Teknik tidak saja aktif dan rekatif terhadap isu-isu energi dan teknologi yang kini banyak digandrungi mahasiswa. Tapi seperti kata orang besar dulu, "Jangan sekali-kali melupakan sejarah", atau lebih dikenal dengan jas merah. Maka sudah selaiknya mahasiswa FTUI juga ikut pro-aktif dalam pengawalan isu-isu politik. Politik itu tidaklah kotor, seperti kata Bung Hatta. Kebanyak orang di dalamnya lah yang membuat politik menjadi kotor. Bahwa pada hakekatnya, politik itu suci yang ditujukan kepada kepentingan negara dan rakyatnya. Mengutip perkataan bapak Wagub Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, "Orang yang bersih dan jujur memiliki setengah dosa bila tidak mau terjun dalam politik. Maka politik sekarang ya isinya orang-orang kotor.", ujarnya dalam salah satu acara talk show di televisi swasta nasional. Memang benar, dan apakah sebagian dosa itu adalah milik mahasiswa FTUI yang hanya tinggal diam saja, sibuk mengurusi dirinya sendiri yang juga tak kunjung membaik. Sudah saatnya mahasiswa FTUI kembali membenahi diri, menjadi mahasiswa yang aktif dan pro-aktif dalam kegiatan politik baik kampus, maupun nasional.

Mahasiswa FTUI sudah kalah dibanding dengan mahasiswa rumpun sosial yang mendapat pelajaran dan ilmu tentang isu sosial dan bagaimana menanggapinya dengan paham-paham serta teori yang ada dari para pakarnya. Tapi mahasiswa Teknik punya suara bung. Sebagaimana sudah dijelaskan, kelebihan kita adalah bergerak dengan bebas untuk mengawal isu-isu yang ada. Tanpa muatan politik dari golongan tertentu. Kembali ke ranah pergerakan internal fakultas, lalu pertanyaannya dimana posisi Brigade 04 sebagai metamorfosis modern dari Teknik Ranger yang telah dengan brilian dan beraninya dicetuskan oleh para alumni pendahulu kita. Redupnya pengaruh dan suara Teknik di kancah kemahasiswaan universitas seakan menjadi tanda bahwa Brigade 04 sudah lapuk. Entah dimakan usia atau memang tidak ada lagi urgensitas serta gairah dalam mendinamisasi kehidupan kemahasiswaan agar tidak tinggal diam saja melihat ketidakadilan dan kesalahan para petinggi negeri ini. Pembahasan isu yang seharusnya berada di tangan Brigade 04 hanya menjadi isapan jempol belaka. Setidaknya, tidak ada yang dirasakan mahasiswa teknik secara langsung. Pada isu terakhir soal jalannya PEMIRA UI yang dinilai kacau pun, Brigade 04 dirasa terlambat dalam mengawalnya. Sampai bisa menjadi carut-marut dengan sederetan aksi vandalisme mahasiswa-mahasiswa yang katanya menuntut keadilan DPM UI. Apakah di sini tidak ada kaitannya dengan Teknik? Memang, hal itu bukanlah tanggung jawab mahasiswa secara langsung. Namun itu pandangan para orang apatis yang melakukan pembenaran, bahwa tugas utama mahsiswa adalah kuliah, menuntut ilmu setinggi-tingginya. Lalu apa? Padahal trend mahasiswa sekarang berbondong-bondong kerja di perusahaan multi nasional milik asing yang terus menerus menggerus kekayaan alam nasional. Bukan sok idealis, tapi mumpung menjadi mahasiswa yang masih bisa idealis tanpa ada tanggungan yang harus membuat kita menjadi realistis alangkah lebih baiknya kita tidak menjadi mahasiswa yang seadanya, atau bahkan diada-ada.

Sudahlah, lupakan soal isu pembinaan milik kaum eksekutif yang dirasa eksklusif itu. Bagi porsi mahasiswa teknik yang jumlahnya hampir tiga ribu ini. Bangkitkan kembali taring Brigade 04. Mengawal isu-isu nasional dan energi atas dasar basis anak teknik. Masih banyak dibelakang sana (baca:kantek belakang) yang peduli akan dinamisasi kemahasiswaan. Bagi para eksekutif baru, jangan tutup mata. Berhentilah bergaul dengan para birokrat-birokrat kemahasiswaan saja. Akankah potensi anak Teknik menjadi sia-sia dan tidak tersalurkan? Bahwa kalian harus sadari, posisi oposisi di dalam suatu tatanan negara (IKM FTUI dilambangkan sebagai negara yang independen) sangat penting sebagai mirror on the wall. Sebagai salah satu fungsi untuk kalian berkaca dan berbenah diri. Kini sudah era informasi yang berkuasa. Melakukan propaganda sebagai bentuk aksi juga sangat mudah, tinggal bagaimana membuat Teknik menjadi SOLID untuk bisa bergerak secara masif dan mempunyai sikap dan suara di luar. Teruskan prestasi akademik di bidang teknologi dan penelitian, buktikan bahwa pemikiran-pemikiran anak teknik sangat aplikatif di negara ini. Untuk itu, kita harus menyadarkan kepada para mahasiswa untuk melihat realita yang ada. Turun ke lapangan, lihat realita masyarakat yang ada laiknya perintah Tri Dharma Perguruan Tinggi.­ K-286-11


[1] http://aswilblog.wordpress.com/2010/04/27/sekilas-tentang-tentang-teknik-rangers-ftui/. Hasil wawancara pada tanggal 27 Desember 2008 di kediaman Ide S. R.
[2] http://indomiliter.com/2012/01/25/kri-ratulangi-induk-semangnya-kapal-selam-tni-al/
[3] Lisa Pease. “JFK, Indonesia, CIA and Freeport“. Maret 1996
[4] Walentina Waluyanti. "Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen". 2013: Netherland
[5] http://aswilblog.wordpress.com/2010/04/27/sekilas-tentang-tentang-teknik-rangers-ftui/. Hasil wawancara pada tanggal 27 Desember 2008 di kediaman Ide S. R.

Kamis, 12 Desember 2013

Sebuah Cerita dari Pengalaman Bersuara dan Bertindak

"Latar belakang dari berbagai aksiku"

     Di penghujung akhir tahun ini, kehidupan terasa semakin membosankan. Mahasiswa tingkat akhir yang belum juga kunjung mengerjakan tugas akhir dan skripsi, perkuliahan yang sudah semakin menurun intensitasnya dan kehidupan kampus yang stagnan. Semua itu aku rasakan di masa-masa akhir masa perkuliahanku. Organisasi telah kukenyam sejak mahasiswa baru, aktif di organisasi yang membesarkanku dan tetap hingga saat ini. Perkara pembinaan, birokrasi, politik, konspirasi dibalik suatu aksi semua pernah kualami. Tapi, kini aku dan rekan sejawatku kerap merasa hambar dalam menjadi mahasiswa. "Beginikah rasanya menjadi mahasiswa tingkat akhir, yang sudah tidak lagi aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan dan keorganisasian?" Memang bagi beberapa golongan, mengurusi hal-hal berkaitan pembinaan, kaderisasi, intrik internal kampus adalah hal yang mengasyikkan. Bagaimana menularkan semangat juang yang ditularkan dulu oleh senior ke junior. Semua kini bukan lagi diporsi kami, atau setidaknya begitulah tata urutan proses pembinaan yang diterapkan di kampusku. Hampir separo semester ini hanya kulalui begitu saja. Tidak terlalu mengambil pusing persoalan kegiatan-kegiatan rutin, perkuliahan yang tetap saja terasa membosankan, serta kehidupan kampus yang kian kemari semakin hambar dan membosankan.
Pergerakan independen selayaknya dapat dilakukan oleh setiap mahasiswa, kami penganut faham bebas merdeka. Mahasiswa adalah kaum yang paling bebas dalam bertindak. Begitupun yang seharusnya dilakukan para mahasiswa yang mengaku mahasiswa kampus perjuangan. Puas dijejali soal menyoal kemahasiswaan sejak mahasiswa baru seharusnya menumbuhkembangkan kepekaan dan inisiatif serta wawasan berpikir mereka.

"Bahwa soal menyoal kemahasiswaan tidak melulu soal program kerja tahunan. Ini soal bagaimana mendinamisasi dan memunculkan apa yang kalian rasakan dan perjuangkan ke mahasiswa lain."

      Intrik kampus ini diawal saat diselenggarakannya olimpiade universitas. Intrik biasa dan sangat wajar saat pertandingan-pertandingan bidang mayor seperti basket, futsal, dll terjadi olok mengolok dan pamer 'otot'. Banyak yang 'menjual' dan tinggal menunggu siapa yang hendak 'membeli'. Fakultas lawan mengintimidasi dengan berbagai tulisan dan bentuk propaganda lainnya. Bahkan intimidasi berlanjut sampai aksi provokatif di depan halaman kampus kami. Ada yang salah, kenapa kami tinggal diam saja? Kenapa mereka bisa begitu seenaknya saja melakukan tindakan provokatif murahan semacam itu? Ada dua kemungkinan. Pertama, kami sudah cukup dewasa dalam menanggapi aksi provokatif semacam itu. Atau kedua, kami ini apatis bahkan cenderung pengecut. Para petinggi lembaga kemahasiswaan masih saja berkutat persoalan pembinaan yang tidak kunjung habisnya, belum lagi mulai dilangsungkannya pergantian pejabat dekanat yang membuat birokrat semakin tidak jelas. Maklum saja, saat masa-masa pencalonan semacam inilah sifat individualistis para elit pejabat keluar. Demi memperebutkan kursi panas tersebut, mencurahkan mayoritas tenaga dan pikirannya kepada proses pencalonan. Sebenarnya kami ini punya sikap atau tidak?
     Suatu keanehan yang muncul dibenakku, karena sepanjang sejarah yang diceritakan kepadaku. Kami ini tegas, punya sikap bahkan tidak jarang menjadi penggerak aksi universitas. Tapi kini seakan nyali itu menciut, ah bukan. Aku masih percaya, nyali ini masih ada, hanya saja tidak satu padu untuk kepentingan bersama. Para mahasiswa yang mengaku anak berandal sibuk dengan urusannya sendiri di zona kantinnya. Sibuk memainkan permainan kartu, nongkrong, ngerokok. Tiap hari. Tidak ada yang salah dengan itu semua, tapi ini semua terlalu sia-sia bung! Aku pun bagian dari mereka itu semua. Tidak ada yang diperdebatkan, tidak ada yang diperdulikan. Kemana para elit lembaga yang mengaku mengurusi dunia kemahasiswaan?
    Saatnya datang. Pertandingan melawan rival yang membuat tensi kampus sedikit meninggi. Baguslah, arogansi golongan-golongan sudah mulai luntur saat kami membawa nama 'biru'. Hari itu, tribun gymnasium yang kukenal dulu saat mahasiswa baru benar-benar penuh sesak oleh masyarakat 'biru'. Ternyata inilah hasil tiga tahun kebelakang para elit lembaga terus giat menyerukan untuk solid satu kampus. Solid saat negara biru ini memanggil. Ya pikirku, para tetua dan senior-senior yang dididik dengan didikan arogansi jurusan sudah lulus semua. Tinggallah kami yang menerima didikan masa transisi. Sungguh semangat merasakan hall ini gemuruh saat dilantangkan ­yel-yel dan mars negara biru ini. Walaupun tidak ada yang provokatif. Sedangkan supporter fakultas lawan hanya terisi separuhnya, dan mayoritas pun adalah wanita. Kembali, memang yang membuat kondisi panas adalah tindakan-tindakan provokatif. Fakultas lawan memprovokasi, membuat permainan tim buyar dan terbawa emosi. Ya, sudahlah. Kalah pun tak jadi soal. Aku melihat hari itu sebagai titik balik sebagai semangat solid dari negara biru ini. Hari itu berakhir damai, masyarakat negeri biru ini diusir oleh para petinggi kampus. TIndakan preventif agar tidak terjadi tindakan anarkis yang berujung benturan keras. Alasannya, salah satu mahasiswa kami sedang melakukan kampanye dan eksplorasi untuk menjadi ketua BEM universitas. Tindakan anarkis sekecil apapun bisa mencoreng namanya dan nama kampusku. Hmm, betapa menghargainya kami ini. Mampu menahan emosi yang seringkali memenangi pertarungan melawan logika demi kepentingan dia, kepentingan kampus.

"Sebuah tulisan yang dilatarbelakangi dari emosi dan rasa simpatik kepada rekan sejawat di dunia kemahasiswaan kampus."

      Momen ini kemudian berkembang ke arah politis saat memasuki masa eksplorasi dan kampanye ketua BEM universitas. 3 kandidat yang mencalonkan berasal dari fakultas dengan komposisi Hukum-Fisip, Hukum-Fisip, Teknik-MIPA  Entah bermula sejak kapan, namun friksi antara 3 fakultas ini memang terasa tinggi dan keras. Pemicu awalnya dari beredar isu tidakan pencoretan poster kampanye, pembakaran flyer bahkan konspirasi yang menyulitkan pemasangan poster kampanye oleh ketua BEM fakultas di fakultas ilmu budaya. Tindakan ini difoto yang kemudian beredar di beberapa golongan. Aku dan kawan jurusan tiba-tiba menjadi merasa kesal. Bukan karena kami adalah tim sukses dari calon nomor 3. Tapi, sungguh menyedihkan sekali momen PEMIRA kali ini dikotori dengan aksi black campaign semacam ini. Entah siapa dalang dari semua ini. Spekulasi menyebutkan ada beberapa orang tidak bertanggung jawab yang dibayar senilai lima puluh ribu berupa voucher isi ulang seluler yang melakukan. Merasa kini para lembaga teknik masih sibuk dengan urusan demisioner dan pencalonan menjadi para petinggi lembaga selanjutnya membuat aku dan beberapa temanku mengambil tindakan. Kalau memang ingin melakukan black campaign kami terima sebagai tantangan. Kucopot semua poster dan spanduk kampanye kandidat lainnya. Setiap kali dipasang kembali, aku copot saat itu juga. Silahkan kampanye di luar 'rumah' kami. Kami harus mengambil sikap. Ini tindakan boikot atas buruknya pengawasan panitia PEMIRA kali ini pada pelanggaran-pelanggaran semacam itu.
     Hal ini berlangsung selama kurang lebih satu minggu sejak pertama kali aku mencopot atribut kampanye itu. Sampai tiba hari jumat pagi itu, saat aku jalan melewati rute harian menuju kampus. Tiba-tiba ada sesosok petinggi lembaga fakultasku yang berdiri di sudut keramaian itu, berdiri namun seakan berharap tidak ada dari mahasiswa kampusku yang melihatnya. Tersenyum kepada masyarakat negeri biru ini, namun takut tidak konsisten dalam mengambil tindakan. Ia berdiri di sudut keramaian itu saat salah seorang kandidat ketua BEM melakukan kampanye di depan halaman kami. Dengan kata lain, itu adalah bentuk deklarasi dukungan kepada kandidat itu. Permasalahannya dimulai dari sini. Kembali kebelakang, saat kawanku yang maju sebagai kandidat juga menceritakan bahwa ia (anak kampusku yang mendukung kandidat lain itu) telah berjanji kepada kawanku saat awal pencalonannya akan bersikap netral secara individu, bahkan secara posisi strategis dirinya akan mengarahkan masyarakat negeri biru untuk mendukung kawanku ini. Berasal dari satu almamater memang menjadi alasan yang kuat untuk mendukung. Lagipula sebelumnya ia menjabat Ketua BEM, pasti kami lebih mengenalnya baik secara pribadi maupun profesional dibandingkan kandidat lainnya yang berasal dari fakultas berbeda. Setelah aku dan beberapa kawanku mencari info tentang tindak-tanduk dirinya ini dalam mendukung kandidat dari fakultas lain ini, kami mendapati fakta bahwa ia merupakan teman satu kosan, ia mengaku mengenal baik teman kosannya yang maju menjadi kandidat ketua BEM universitas. Propaganda yang dilakukan cenderung mengarah untuk mendukung kandidat tersebut, bahkan selanjutnya diketahui ternyata ia adalah tim sukses dari kandidat tersebut. Kekecewaan mendalam dari kami akan rapuhnya integritas kalimat dan janjinya. Kami merasa tindakan itu mencederai persahabatan kawanku dengan dirinya. Maka muncullah hashtag #Tolakduridalamdaging. Ini aku pribadi usungkan di media sosial sebagai bentuk protes dan keprihatinan akan bobroknya integritas seseorang yang selama ini menjadi pejabat tinggi lembaga kemahasiswaan. Tidak ada yang menyalahkan karena  perbedaan pilihan, tidak ada yang menyalahkan karena dirinya terang-terangan mendukung kandidat lain. Hanya sebuah kekecewaan mendalam atas kemangkiran dari janjinya.
    Reaksi keras kemudian berkembang cepat melalui media sosial, aku dan beberapa temanku melakukan bentuk protes keras kepada dirinya lewat media sosial. Sebuah tanda tanya besar, "Kok bisa sih?". Isu yang berawal dari segelintir orang kemudian cepat menyebar (baru kusadari kekuatan media sosial ini sungguh besar) ke mahasiswa jurusan lain, bahkan seantero fakultas. Beberapa alumni yang penasaran akan 'serangan' di media sosial itu bahkan sampai bersusah-susah menelpon diriku agar mengetahui duduk persoalan sebenarnya. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang ikut menyerang di media sosial. Rasa kekecewaan dan aksi protes ini tidak mendapat tanggapan dari pemilik akun. Akhirnya beberapa temanku melakukan komunikasi pribadi guna mengklarifikasi permasalahan yang sudah terlanjur tersebar ke banyak orang. Dari situ, sudah disepakati sebuah permohonan maaf dari dirinya bila ucapannya dianggap berat sebelah ke salah satu kandidat, karena dia berjanji untuk bersikap netral. Menurutnya, itu semua hanya kekhilafan semata. Baiklah, masalah itu kemudian mulai meredup seiring dengan menurunnya intensitas aku dan teman-temanku melakukan penyerangan ke akun media sosialnya.
     Saat masa pemilihan kandidat BEM universitas, aku anggap aksi politik kampus berhenti. Dan tinggal menunggu hasil. Namun, di hari kedua masa pemilihan terjadi sebuah aksi dari sekelompok orang yang mengaku dari salah satu golongan organisasi kemahasiswaan independen. Mereka melakukan penyatronan ke sekretariat DPM yang mengurusi persoalan PEMIRA universitas. Orang-orang ini yang berdasarkan info berjumlah kurang lebih dua puluh orang melakukan tuntutan untuk menunda pelaksanaan PEMIRA, melakukan mosi tidak percaya ke organisasi DPM, dan menuntut pembubaran Panitia PEMIRA. Pilihannya untuk membatalkan pesta demokrasi dan menggantinya menjadi musyawarah mahasiswa. Akibatnya, pelaksanaan PEMIRA saat itu ditunda sekitar dua hari masa efektif. Baru setelah dilakukan rapat bersama antara seluruh anggota DPM Fakultas dengan orang-orang itu menghasilkan keputusan untuk melanjutkan kembali pelaksanaan PEMIRA. Dari sini ada kejanggalan dan indikasi permainan politik kotor. Kami mencium bau adanya indikasi konspirasi yang bertujuan merugikan kandidat dari fakultas kami. Pasalnya, minggu selanjutnya (kondisinya saat itu PEMIRA baru dilaksanakan lagi hari jumat) fakultas kami melaksanakan ujian akhir. Pada saat itu praktis membuat kemungkinan mahasiswa untuk memberikan hak pilihnya mengendur. Selain fokus menghadapi ujian akhir sudah dapat dipastikan kegiatan kemahasiswaan di kampus tidak berjalan normal. Kampus sepi, tidak banyak mahasiswa yang melakukan kegiatan-kegiatan. Hal ini yang kami rasakan sebagai kerugian karena seharusnya mayoritas suara kandidat nomor 3 berasal dari fakultas kami ini.
      Rasa kekesalan bertambah akibat tumpulnya kepekaan dan inisiatif para petinggi lembaga untuk mengkondisikan dan mensuasanakan kegiatan PEMIRA ini. Bahkan sejak pelaksanaan awalnya, informasi mengenai penundaan pelaksanaannya dan perubahan jadwal pelaksanaan setelah aksi terakhir di sekretariat DPM tempo hari. Prihatin sungguh melihat para petinggi lembaga tidak kunjung bergerak untuk menggerakkan mahasiswa fakultas kami. Puncak kekesalan dan aksi keprihatinanku pada hari minggu malam menjelang subuh. Aku dan beberapa teman organisasiku membuat dua buah spanduk yang berisi tuntutan kepada Ketua BEM Fakultas 2014 yang isinya:
      1.       Pastikan semua anak teknik memilih di PEMIRA UI 2014
      2.       Awasi pelaksanaan PEMIRA UI 2014
      3.       Sebarkan informasi mengenai jalannya PEMIRA UI 2014
     Spanduk itu kami pasang di tengah kantin tempat sebagian besar kegiatan kemahasiswaan berlangsung di fakultasku. Tujuannya satu, aku ingin mereka semua sadar bahwa kita harus bergerak. Kita sudah terlalu lama diam dan tidak mengambil sikap. Aksi semacam ini perlu dilakukan untuk mendinamisasi kehidupan kampus. Terlebih peran oposisi perlu untuk mengawasi jalannya para pejabat lembaga itu agar tetap berjalan sesuai fungsinya. Ini adalah aksi bentuk keprihatinan atas keapatisan para mahasiswa sekaligus bentuk penolakan atas pengkhianatan integritas seorang petinggi lembaga. Reaksi dari pemasangan spanduk itu, membuat para petinggi lembaga kemahasiswaan yang baru terpilih jumat lalu berkumpul untuk menentukan sikap dan melakukan aksi lanjutan untuk membuat mahasiswa aware atas PEMIRA tahun ini. Kami sudah lama berdiam diri dan menutup mata atas masalah-masalah yang terjadi.
     Ternyata tidak hanya menuai reaksi positif, ada juga reaksi negatif yang aku terima akibat beberapa ulahku. Salah seorang mahasiswa dari satu fakultas yang sama dengan diriku menuai protes atas beberapa tulisanku di media sosial. Permasalahannya adalah, mahasiswa ini tidak mengetahui duduk permasalahan yang terjadi dari awal. Yang aku dan teman-temanku permasalahkan sejak awal bukan menyoal pilihan. Kami paham benar soal demokrasi dan kebebasan berpendapat. Aku tumbuh di lingkungan demokrasi, bahkan kebebasan beragama. Walaupun berada dilingkungan SMA Katolik, aku pernah merasakan duduk sekelas dengan teman-teman dari keempat agama yang lain, dan satu kepercayaan. Dan kami tumbuh bersama, bahkan menjadi teman-teman dekat hingga sekarang. Jadi sudahlah, ini bukan soal demokrasi dalam bersikap, dan yang terpenting adalah tidak melebar kemana-mana. Karena akan ada golongan yang merasa dirugikan nantinya. Kita satu almamater dan sudah sejatinya tidak bertengkar.
        Banyak pelajaran yang bisa diambil dari PEMIRA tahun ini, dari pendewasaan diri, fakta bahwa masih banyak mahasiswa fakultasku yang apatis, kurangnya rasa solid yang ironinya sudah ditanamkan sejak masih mahasiswa baru. Terlebih soal integritas dalam bersikap yang menjadi poin utama seorang pemimpin dan orang besar. Bahwa benar kata pendahulu kampus ini dulu, "Katakan hitam adalah hitam, dan katakan putih adalah putih."

Selasa, 15 Oktober 2013

Gotong Royong Sebagai Identitas Bangsa Indonesia

Dalam rekam jejak sejarah Indonesia menurut arsip nasional republik tercinta kita ini tela dikatakan bahwa prinsip dan semangat gotong royong telah mendarah daging pada identitas bangsa Indonesia. Kita sejujurnya tidak dapat dipisahkan pada semangat gotong royong. Gotong royonglah yang telah mempersatukan segenap tanah air kita ini. Menyatukan perbedaan yang ada untuk menyerukan kata pembakar semangat. "Merdeka!". Pertanyaannya kemudian, masihkah di jaman modern ini kita sebagai bangsa yang besar memiliki semangat gotong royong tersebut? Ataukah ternyata gotong royong itu masih ada di antara kita namun dalam arti dan penerapan yang berbeda? Yang tidak sepadan dan tidak serupa? Menjurus ke arah yang salah dan penuh kemunafikan.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, gotong royong diartikan pada 'bekerja bersama-sama'. Memang betul, pada faktanya kita semua mengerjakan segala sesuatu secara bersama-sama. Bersama-sama yang berarti seluruh atau sebagian golongan saja tapi? Tanpa adanya pemersatu kepentingan pada bangsa ini membuat kita tidak lagi menjadi bangsa yang kuat oleh karena perbedaan tujuan yang kerap saling menjatuhkan antar golongan. Membuat kita menjadi jauh pada semangat gotong royong itu sendiri. Pada jaman pergerakan kemerdekaan tahun 1945-1960an telah diserukan semangat gotong royong oleh yang kita sering sebut Sang Proklamator, Bung Karno. Beliau dengan semangat dan kharismanya telah membius segenap rakyat Indonesia yang mengalami senasib sepenanggungan akan penderitaan akibat penjajahan bangsa asing untuk bersatu melawan, mengusir, membasmi pengaruh-pengaruh pemerintah Hindia-Belanda untuk memecah belah dan menghancurkan nusantara ini. Nusantara yang telah lama diidam-idamkan bersatu sejak jaman kerajaan Majapahit. Kerajaan terbesar di nusantara yang sering dihubungkan dengan latar belakang serta identitas bangsa Indoensia kini.

Secara pribadi, anggapan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar akan terwujud bila kita memiliki persamaan visi, bukan secara diktator. Namun semangat nasionalisme bahwa Indonesia harus, pasti menjadi bangsa yang besar. Semangat gotong royonglah yang layak kita jadikan senjata untuk memersatukan sekitar 200 juta tumpah darah bangsa Indonesia. Bukan muluk-muluk dan klise, semangat inilah yang kini telah kendur di aliran darah generasi muda. Haruskah kita melakukan kerja rodi kembali? Romusha yang menelan ribuan korban jiwa lagi? Sadarkah kita, di  abad 20 ini kita tidak lagi memiliki identitas yang kuat sebagai macan asia? Manakala stadion gelora bung karno di senayan menjadi stadion olah raga tersebar di asia? Menjadi bukti yang konkret bahwa Indonesia bukanlah sekadarnya. Kita ini kaum dan bangsa yang satu padu walau terpisah ribuan kilometer garis pantai dan lautan.

Gotong royong kini terasa semakin asing dan justru hal yang munafik untuk dilakukan. Orang telah memiliki stigma serta paradigma bahwasanya kita ini berbeda dan memiliki kepentingan pribadi. Seakan bangsa imperealis yang sibuk memerkaya diri. Lalu apa bedanya kita dengan bangsa yang 68 tahun lalu kita usir dari tanah air ini? Gotong royong kini dijadikan semangat untuk bekerja bersama-sama, bersama orang yang kita pilih, orang yang kita ajak bersama-sama memerkaya diri. Menjadi sebuah nepotisme yang keji. Bukti bahwa gotong royong masih mengalir di darah kita, namun dengan jalan yang keliru. "Jangan sekali-kali lupakan sejarah", seperti yang pernah diserukan presiden pertama kita. Bahwa sejarah yang telah mengukir garis kehidupan di masa sekarang, bahwa sejarah yang telah memerjuangkan nasib wanita agar setara dengan pria, bahwa sejarah Indonesia bersatu padu untuk menyerukan kata "Merdeka!".

Lupakan sejenak isi kantong pribadi. Wahai para pejabat negeri, berhentilah menjajah warisan sejarah bangsa-mu ini. Bangsa kami. Bangsa kita. Hancurkan para stigma akan Indonesia adalah bangsa yang kotor, korup dan miskin. Malulah menerima jutaan dollar namun rupiah semakin melemah. Tiap-tiap komponen harus mengambil peran akan perjuangan bangsa Indonesia ini untuk menjadi bangsa yang besar.

Senin, 26 Agustus 2013

Bendera Indonesia-Metallica. Bangga atau Malu?

Sudah lihat foto ternayar tentang bendera merah putih bertuliskan lambang metallica? Dalam konser teranyarnya, band legendaris asal Amerika yang sukses di era 80-an ini sukses menampilkan konser megah yang memukau hampir 60.000 penonton rakyat Indonesia. Di stadion Gelora Bung Karno, Metallica membawakan lagu selama 2,5 jam yang diakhiri dengan lagu Seek and Destroy.

Di penghujung konsernya, Metallica berfoto dengan bendera bangsa kita. Bendera merah putih. Namun ada sedikit yang berbeda, yup.. Ditengah antara batas warna putih dan merah terdapat tulisan logo band ini. Entah apa motivasinya, tapi jelas itu sebuah penghinaan. Itu pendeskreditan atas bendera bangsa kita. Dan mirisnya, hal ini justru menjadi hal yang membanggakan bagi para penonton. Apa yang mereka pikirkan? Apa jasa Metallica atas merdekanya bangsa ini? Sampai-sampai bisa dengan seenaknya menuliskan lambangnya di bendera kebangsaan kita.

Di UU 24 Tahun 2009, jelas dikatakan bagaimana seharusnya bendera merah putih itu diperlakukan. Kotor saja tidak boleh, apalagi dicorat-coret seenaknya saja? Pengibar bendera merah putih nasional saja berlatih hampir 5 bulan untuk dapat mengibarkannya. Dengan segala sumpah dan risiko yang diambil (bahkan yang terburuknya dibunuh, diasingkan, dll) menjadi momok dan penghormatan setinggi langit pada bendera kebangsaan kita.

Apasih yang bangsa ini pikirkan? Sudah habiskah rasa nasionalisme bangsa ini? Bukannya aku sok nasionalis. Tapi lucu saja bangga pada hal yang jelas-jelas mencoreng besar bangsa kita ini. Muak aku dengan sikap inferior beberapa rakyat kita ini. Yang jelas, aparat dan pejabat seharunysa mengambil sikap, terutama pimpinan negara yang mengaku pembela bangsa kita di mata dunia. Nilai rupiah yang terjun bebas, bahkan terburuk dalam 10 tahun terakhir membuat kita semakin tercoreng di kancah dunia. Tunjukkan bahwa kita bukan bangsa yang inferior, bangga akan bangsa kita ini.

Rabu, 17 Juli 2013

JURNAL MP CAVING 2013



Menjadi bagian dari masyarakat Desa Kalak, Dusun Petung yang penuh kesederhanaan sungguh membuat kami menjadi sungkan bertamu di sini. Setelah melewati malam yang sangat merepotkan kemarin, dijemput oleh Pak Parni, yang baru diketahui dia adalah Kepala Dusun Petung yang akan kami singgahi nanti. Beliau menempuh belasan kilometer melewati bukit di tengah hutan dan gelap serta dinginnya malam sehabis hujan malam itu. Kami tiba pukul setengah sebelas malam disambut kehangatan Bu Parni dengan segelas teh hangat. Merasa kami disambut benar di Dusun ini, maka sepakatlah kami untuk mengangkat beliau menjadi bapak selama kami di dusun ini.

Pagi di hari kedua sesuai dengan objektif musim pengembaraan divisi caving kali ini, kami melakukan kegiatan sosped ke masyarakat desa, mencari hal berkenaan dengan gua, manfaat bagi masyarakat, atau bahkan sekedar merasakan kearifan lokal dari masyarakat desa yang asing bagi kami manusia kota. Aku berjalan tanpa arah mengikuti bukit yang terhampar luas di seluruh desa ini. Dan sampailah aku di Dusun Nasri, dusun sebelah Dusun Petung yang dikepalai Pak Parni. Aku berkunjung ke Kasun Nasri, Pak Sutrisno jenenge. Ternyata beliau masih adik ipar Pak Parni. Aku yang sekedar main dijamu dengan baik, sebagai orang asing aku terhitung disambut dan dijamu dengan sangat baik dan lagi ramah. Segelas teh cukup membuat obrolan kami cair dengan Bahasa Indonesia beliau yang pas-pasan serta bahasa jawaku yang juga pas-pasan. Beliau tidak pernah mengenyam bangku sekolahm emnjadi kasun atas kesepakatan warga dusun. Aku bertanya seputar hal berkenaan dengan gua-gua di sini. Manfaat bagi mereka, bantuan pemerintah, sosial pedesaan di sini, sampai cerita rakyat yang tidak berani beliau ceritakan. Sangat tabu bagi masyarakat desa menceritakan hal tersebut. Namun lukisan dirumahnya yang bergambar buta ireng dikelilingi hewan seperti ular, monyet, naga, macan, kuda dan yang lain seakan memiliki arti kuat di dusun ini mengingat beliau adalah kasun atau kepala dusun. Cukup aneh ada mitologi hewan-hewan seperti naga yang tergambar di lukisan jawa. Karena setahuku sosok naga hanya ada di mitologi negeri tirai bambu. Ini mengindikasikan adanya perpaduan budaya atau akulturasi dari budaya Negeri Cina dengan Suku Jawa sejak dulu kala. Cerita rakyat itu selalu diturunkan dari generasi ke generasi, tidak ada bukti otentik, tidak ada tulisan atau hal nyata yang dapat menjelaskan keabsahan cerita rakyat ini.

Siang datang, Adnan telah selesai mengurus perijinan dari Kota Pacitan yang telah pergi dari pagi buta tadi dan kamipun bersiap-siap untuk melakukan penelusuran Gua Jenggung. Gua adalah istilah untuk rekahan bumi berbentuk horizontal, proses terbentuknya umumnya berasal dari aliran sungai purba ang menghilang. Selama jutaan tahun mengikis struktur batuan bawah tanah, membentuk lorong-lorong misterius yang sangat ingin untuk ditelusuri. Jarak gua ini tidak begitu jauh dari rumah Pak Parni, kondisi medannya yang menuruni bukit membuat aku membayangkan gua ini seakan berada tepat di bawah Dusun Petung ini. Tiba di pinggir mulut gua, aku melihat banyak masyarakat yang mandi di mata air dekat jalur masuk gua. Uniknya, yang mandi di sana berisikan laki dan perempuan yang dengan seenaknya mandi tanpa penutup badan sedikitpun. Kamipun menjadi sungkan bukan kepalang ada pemudi dan ibu-ibu tetap mandi tanpa penutup badan. Ini juga salah satu kearifan lokal desa ini. Masuk menuruni jalur ke mulut gua, kami harus scrambling karena perbedaan dari jalur masuk sampai ke mulut gua sekitar 70 meter dan sudut kemiringan sampai 45 derajat. Kami harus menggunakan webbing yang dibentuk stair up untuk membantu kami menuruni bukit karst ini. Mirisnya jalur ini dipenuhi sampah masyarakat. Tampaknya mereka masih memiliki kesadaran yang rendah akan sampah. Setelah menghabiskan waktu 1 jam untuk turun ke mulut gua, sepanjang jalan kami dibuat tercengang dengan hamparan flowstone putih yang dialiri air seperti hal magis yang tampak begitu memukai di mataku. Susunan flowstone itu layaknya istana dari kemegahan Gua Jenggung ini. Kesan pertama saat melihat gua ini akan tampak kemegahan dan keperkasaannya. Sungguh perasaan yang sulit digambarkan.

Kegiatan mapping dimulai dari mulut gua yang bak mulut dipenuhi taring stalaktit dan stalakmit. Ratusan sodastraw tumbuh acak membuat susunan yang eksotis untuk dilihat. Begitu melewati mulut gua, chamber besar langsung menyambut. Luasnya hampir setengah lapangan bola. Napas terasa sesak akibat bau guano dan debu yang berterbangan. Di ujung chamber terhampar jurang yang begitu gelap dan dalamnya sampai-sampai tidak tampak ujungnya. Bahkan senter kami yang peling terang sekalipun tidak dapat mengintip ujung jurang ini. Kami menuruni jurang itu dengan bantuan stair up dari sisi barat, turun melewati waterfall dari flowstone yang begitu berkilai. Sekitar dua belas meter dari permukaan chamber. Sampai di dasar beberapa orang mencari jalur ke depan, dan barulah aku sadar betapa besarnya lorong ini saat senter-senter orang menerangi seisi lorong ini. Di ujung lorong kami berhenti di danau bawah tanah yang sangat eksotis. Warna airnya hijau namun tidak begitu keruh, dari hasil penerangan kami ujungnya masih panjang. Aku langsung teringat film tentang cave diving itu. Sungguh, Gua Jenggung memiliki cerita yang sangat mengesankan.

Hari ketiga di Dusun Petung. Kami bersiap menelusur Luweng Ombo. Luweng sedalam 120 meter dengan diameter luasnya hampir 90 meter kira-kira. Luweng ini terbentuk dari rekahan yang jatuh atau sering disebut juga sinkhole. Di dasarnya tampak disesaki hutan purba yg lebat. dan suara aliran air seperti sungai di bawahnya. Tim pertama berangkat lebih awal untuk persiapan rigging dan persiapan penelusuran. sampai jam 14.00 persiapan selesai, itu sekitar 4 jam lamanya. Cukup lama. Saat semua persiapan selesai dan ingin turun tiba-tiba Adnan sebagai leader lemas teringat pesan ibunya yang menelpon sesaat sebelum ia turun, untuk tidak melakukan kegiatan berbahaya. Memang di sini mental diuji betul. Menuruni lubang vertikal sedalam 120 meter bukan perkara enteng bagi orang umum. Hampir 1 jam sampai aku bisa meyakinkan dia untuk tetap turun. Just take it or leave it. Kalian yg menyiapkan ini semua kalau sekarang mau pulang, just leave, clean it and we go home. Sontak dia meyakinkan jiwanya untuk tetap turun. akhirnya jam 16.00 Adan mulai turun. Namun sampai di sambungan tali pertama Adnan mengalami trouble. Autostopnya fail. Kuncinya terbuka akibat beban tali yang besar. Autostopnya terbuka dan rusak. Belum lagi, salah satu carabiner snap miliknya yang terjatuh akibat panik. Akhirnya Adnan memutuskan untuk naik kembali dan penelusuran ditunda sampai besok. Namun setelah naik, dan mendengarkan kronologis yang diceritakan Adnan, ternyata kesalahan bukan pada alat, namun pada penggunaannya. Saat autostop dibuka, posisinya masih terbeban beban tubuh. Beban belum dipindahkan ke croll. Kesalahan fatal yang bisa berakibat yang tidak mau aku bayangkan. Faris sebagai Kadiv memarahinya dan memberikan sanksi seri kepada Adnan.

Ada cerita lucu selama kegiatan rigging siang tadi. Pak Parni sebelumnya berpesan untuk hati-hati karena suka ada orang gila yang datang untuk memalak uang. Dan benar saja, dengan baju lusuh dan bolong serta gelas air kemasan yang diikat di sabuk dari tali rafia itu, dia duduk dekat camp kami. Ia mencoba berkomunikasi dengan bahasa jawanya, aku sebagai anggota tim yg mengerti bahasa jawa menjawab pertanyaan dia sambil tetap siaga kalau-kalau dia melakukan hal bodoh yang membahayakan kami dan anchor kami. Entah kenapa kami yang baru 2 hari di sini sudah seperti kenal dengan semua warga. Beberapa warga yang lewat dan melihat kami menyempatkan untuk menghampiri kami. Sekedar menanyakan kami dari mana dan ada juga yang mengingatkan kami untuk waspada terhadap orang gila itu. Yang lebih aneh, aku rasa kabar mengenai keberadaan kami tim dari jakarta sudah menyebar ke dusun-dusun yang sangat luas ini. Batas antar dusunnya saja sudah merupakan bukit-bukit. Setiap orang yang papasan dengan kami, mengetahui bahwa kami adalah tamu Pak Parni yang hendak turun ke Luweng Ombo. Memang sebelumnya banyak kelompok pencinta alam datang untuk mengurai rasa penasaran dari kemegahan Luweng Ombo ini. Aku melihatnya daftarnya di buku tamu milik Pak Parni.

Setelah selesai clean alat, kami pulang ke rumah Pak Parni. Sayang hari ini Faris sakit sehingga kondisinya tidak fit untuk melanjutkan eksplorasi. Di rumah Pak Parni seperti biasa kami leyeh-leyeh sambil mengobrol dengan beliau. Setiap kali kami datang entah kenapa beliau selalu hangat menyambut, menanyakan bagaimana hari ini, tidak lupa mendoakan setiap kami akan berangkat. Sosok kebapakkan sekali beliau. Sekitar jam 8 berkumpul ibu-ibu yang dugaku adalah seisi dusun ini. Mereka datang untuk mengambil jatah sembako beras sumbangan dari pemerintah. Pak Parni sebagai kasun tidak sedikitpun menyimpan atau meminta lebih. Semua sama. Hal yang cukup jarang ada di masyarakat kota, di mana para pejabat pemerintah sibuk memperkaya diri selama masih memangku kekuasaan. Selama aku bertamu di sini aku menganalisa kebudayaan jawa yang terasa sangat kental. Di mana para perempuan yang tidak pernah duduk setara dengan laki laki. Para perempuan bahkan Bu Parni hanya sibuk di dapur, memasak atau melakukan apapun di dapur sepanjang hari. Bahkan kalau ada tamu pun Bu Parni hanya diam mendengarkan di bawah lantai bersama kami. Salah satu kebudayaan jawa yang aku rasakan betul.

Hari keempat di kesederhanaan Desa Kalak, kami yang semalam cukup istirahat sudah terjaga pukul 05.00 pagi, bersiap untuk meneruskan misi kami untuk menelusur Luweng Ombo. Tim pertama yang tinggal menyisakan aku dan Kiky di rumah Pak Parni sudah berangkat dari pukul 06.00 untuk menyiapkan rigging-an kembali. Cuaca mendung ini seakan tidak bersahabat. dan benar saja, tidak lama dari keberangkatan tim 1 hujan mulai turun gerimis deras, "Sial, pasti ngaret lagi nih explore nya", pikirku. Aku bertugas memasak sarapan untuk seluruh tim harus menunggu sampai hujan reda untuk menyusul ke mulut gua. Saat selesai masak dan hendak berangkat kami tidak diijinkan jalan Pak Parni bila kami belum sarapan dulu, padahal perencanaannya kami semua akan makan bersama di mulut gua. Akhirnya kami sarapan dengan lauk yg kami masak, tiba-tiba Bu Parni menaruh seceplok telor di piringku, sungguh baiknya orang-orang ini. Padahal, kondisi mereka tidak berlebih, cukup untuk kehidupan sederhana orang tua yang telah ditinggal anak-anaknya.
Selesai sarapan dan mengobrol sebentar, aku dan Kiky berangkat ke lokasi gua berbarengan dengan Pak Parni yang pergi mengarit. Sekitar jam 10.00 aku tiba, rigging-an belum juga siap, entah kenapa anak-anak ini begitu lama menyiapkannya. Padahal posisi rigging tidak diganti. Jam 11.00 lintasan sudah siap, dan Adnan bersiap untuk turun. Dia lebih mantap kali ini, "Semoga saja kali ini tidak ada trouble yang berarti.", harapku. Adnan menjadi leader, membawa beberapa peralatan penelusuran kelompok, makanan, minuman yang dimasukkan ke dalam ransel yang dibawanya. Tidak lama ia lalu turun, dan Kanya bersiap-siap untuk menjadi yang berikutnya turun. Tidak lama, Adnan terlihat kembali naik saat aku mengecek lintasan. Aku kembali heran, kenapa dia naik lagi dan tidak melanjutkan turun. Saat di atas, Adnan mengatakan tidak mau turun lagi, capek katanya. "Apa-apaan ini?!". Tangannya sudah keram, entah karena keletihan atau memang masalah mental di sini.
Akhirnya, perencanaan berubah. Asrul menjadi orang yang turun pertama, agar saat Kanya turun tidak sendirian, maklum dia masih bocah perempuan yang baru belajar dari alam ini. Asrul kemudian turun, dengan perasaan berdebar dan gemetar menjadi orang pertama untuk menuruni luweng ini. Sekitar 45 menit kemudian, Asrul sudah sampai bottom. Untungnya ia tidak mengalami trouble. Sekarang giliran Kanya yang turun, waktu sudah menunjukkan pukul 14.00, matahari mulai lelah dan harus tidur. Menyisakan kesunyian, dan kegelapan yang sungguh diam, dingin, misterius. Kanya sampai di bottom sekitar pukul 16.00, kemudian dilanjutkan Faris turun untuk mengibarkan bendera merah putih dan bendera KAPA di lintasan untuk difoto. Objektif tercapai, bendera berhasil berkibar walaupun ukurannya terlalu kecil untuk dapat direkam oleh kamera DSLR dengan lensa wide fix yang dibawa Kanya. Eksplorasi kemudian dilanjutkan oleh Kiky lalu Cindy. Cindy berhasil mencapai bottom sekitar pukul 22.00. Melihat kondisi di mana sudah terlalu larut dan ngaret untuk Adnan turun, aku menginstruksikannya untuk tetap di atas menunggu tim pertama selesai eksplorasi dan naik, baru dirinya turun. Menurutku itu adalah konsekuensi bagi dirinya karena tidak jadi turun saat gilirannya.

Malam sekitar pukul 01.00 Faris naik, menyisakan Asrul, Kiky, Kanya dan Cindy di bawah. Pertimbangan Faris naik terlebih dulu, untuk menyiapkan sistem vertical rescue kalau-kalau ada anggota tim yang harus di-rescue. Setelah naik, sisa tim yang masih di bawah melakukan eksplor gua untuk menari 'lorong barat daya' yang diceritakan anak Mahipa Ponorogo dan Imapala Uhamka. Mereka mengatakan ada sistem gua lagi dari lorong itu. Akhirnya tim melakukan eksplor sambil mendata flora dan fauna yang didapati. Flora di dasar gua banyak berupa pakis, talas, dan lumut-lumutan. Kondisi batuan masih labil dan rawan longsor. Dasar tempat lintasan kami berada di tanah yang lembab, kondisi di dasar gua lembab dan basah akibat rembesan air tanah yang selalu menetes layaknya hujan. Di dasar gua, didapati bangkai motor, tulang-belulang hewan seperti kambing dan kerbau lengkap dengan tandukya. Beberapa sampah manusia, dan terakhir diketahui Cindy melihat ular di dekat lintasan kami. Di dasar gua yang bentuknya menyerupai botol ini memiliki sekitar 4 lorong gua yang jalannya berlumpur dan mengharuskan tim untuk scrambling  untuk dapat menuruninya. Diperlukan ettrier atau stair up untuk membantu tim menuruni lorong ini. Setelah selesai melakukan eksplor dan mengabadikan beberapa foto untuk data divisi, tim memutuskan untuk naik diawali oleh Kiky sekitar pukul 03.00 dini hari. Kiky naik tanpa trouble, sekitar pukul 05.00 kemudian dilanjutkan Asrul yang naik sampai pukul 07.00. Sehingga menyisakan Cindy dan Kanya di bottom.

Perencanaan-perencanaan berikutnya bersifat taktis, karena Adnan tidak menyiapkan skenario sama sekali untuk kondisi seperti ini. Kiky dan Asrul ditugaskan untuk kembali ke rumah Pak Parni, membuat sarapan. Sedangkan Adnan bersiap-siap untuk turun setelah sarapan. Sekitar pukul 09.00 Adnan turun dan akhirnya sampai juga di bottom setelah tiga kali mencoba. Adnan turun membawa perbekalan seperti makanan dan air minum yang sangat minim. Uniknya di Dusun Petung ini, air dari gua yang masih mengandung air kapur dimasak untuk dikonsumsi. Rasanya aneh, dan pedas akibat adanya kandungan Kalsium di dalamnya. Sekitar jam 11.00 setelah sarapan, giliran Kanya untuk naik. Sambil menunggu Kanya naik, aku dan yang lain mengobrol-ngobrol santai saja. Mulai dari curhat, membahas sistem-sistem yang ada di KAPA sampai fokus divisi setelah menyelesaikan MP ini. Saat asik mengobrol, datang segerombolan lelaki yang datang ke camp kami untuk melihat kegiatan penelusuran kami. Ada bapak-bapak warga sekitar, ada supir pembawa garam dari Gresik, jumlahnya sekitar 5 orang. Walaupun mereka mengaku orang asli Pacitan, mereka belum pernah masuk gua sama sekali. Walaupun gua horizontal sekalipun. Menurut mereka, gua masihlah hal yang mistis, dan tidak ada gunanya untuk dimasuki. Berbeda dengan beberapa orang di desa di bagian lebih barat yang sudah memanfaatkan gua untuk dieksploitasi sumber daya hayatinya. Rata-rata mereka mencari sarang burung walet untuk dijual. (bersambung..)