CERITA PERJALANAN MUSIM PENGEMBARAAN2011 DIVISI CAVING-ROCK CLIMBING
Sebuah perjalanan panjang siap kami tempuh, tim musim pengembaraan 2011 caving – rock climbing yang kemudian kerap disebut dengan CRC (caving-rc). Beranggotakan 9 orang yang terdiri dari Gerry (K-282-10), Acil (NR.1069), Asu (NR.1113), Desca (NR.1121), Rusdi (NR.), Harya (NR.1074), Imam (NR.1102), Tania (NR.1095), Reza (NR.1105) kami pun siap untuk melakukan perjalanan, petualangan dan pembinaan hati untuk dapat lebih dekat dan mengenal alam. Rencana telah dipersiapkan jauh-jauh hari, semua dipikirkan dengan matang dan telah melewati berbagai macam pertimbangan yang diharapkan dapat melancarkan jalannya operasional dari perjalanan MP kali ini. Saatnya tiba, walau perencanaan meleset sedikit dikarenakan masalah teknis yaitu tiket kereta pada hari jumat telah habis terjual. Maka kamipun sepakat untuk berangkat hari sabtu, dengan pertimbangan Gerry baru kembali dari studi ekskursi pada hari jumat. Setelah tiket di tangan, perjalanan inipun telah maju selangkah, selangkah lebih maju walaupun kami sadari masih ada ribuan langkah yang harus ditempuh di depan mata kami. Hari keberangkatan pun tiba, sabtu 11 juni 2011 menjadi hari bersejarah yang akan menandai awal perjalanan kami. Setelah melalui ritual pelepasan dari secret, dan tidak lupa ritual ‘uang topi’ kamipun bergegas pergi menuju stasiun UI untuk nantinya menuju Stasiun Senen. Pukul 17.00 tepat kami pergi meninggalkan secret tercinta, pergi untuk mencari alam baru, tantangan baru, keindahan baru yang nantinya akan menjadi bekal berharga bagi kami semua. Pukul 18.30 kamipun tiba di Stasiun Senen, setelah menempuh long march yang cukup melelahkan bagi beberapa anggota tim yang harus membawa keril berisi peralatan seperti logam, tali, boots dan helm. Sempat kami sejenak berhenti di tugu tani, Senen untuk mengabadikan awal perjalanan kami. Setelah cukup mengambil foto, kamipun melanjutkan perjalanan kami menuju stasiun. Di stasiun, karena ternyata jam keberangkatan mundur dari tadinya pukul 20.00 menjadi 21.00 kamipun sepakat untuk makan di stasiun, untuk menghindari hectic nya keadaan dalam kereta sehingga menyulitkan untuk makan. Lauk yang dibeli cukup banyak dan nikmat, dengan uang sejumlah Rp. 5000 tiap orang, kami telah mendapatkan nasi bungkus dengan 2 lauk ditambah lauk tambahan yang telah dipersiapkan Tania selaku PJ konsumsi.
“Cewek emang beda kalo jadi PJ konsumsi deh, semuanya aman terkendal, makan enak terus!” ucapku kepada yang lain, dengan maksud PJ konsumsi seorang cewek lebih baik daripada cowok. Setelah puas menyantap makanan dan minuman yang cukup jarang kami minum (baca: lemon water milik Desca) segera kami naik ke peron untuk menunggu ‘si tugu’ itu (baca: kereta jurusan Jogjakarta). Para anggota yang kelelahan dan kenyang makan akhirnya satu persatu mengakui kekuatan rasa kantuknya dan takluk. Sedangkan beberapa anggota lain (harya, asu, imam, Gerry, desca) masih mengobrol untuk ‘membunuh waktu’. Saat obrolan sedang seru, tiba-tiba hp beberapa anggota bordering yang ternyata ada SMS masuk dari pak ketua.
“Ini lampu badai ga lo bawa ya?”, sontak segenap anggota kaget dan bertanya kepada Reza seaku PJ peralatan mengenai keberadaan lampu badai. Di situ semua mulai merasa jengkel dengan kinerja Reza yang dirasa tidak efektif sejak persiapan peralatan MP, packing hingga saat keberangkatan. Langsung beberapa anggota menyiapkan perencanan untuk menangulangi tidak terbawanya lampu badai tersebut. Asu diminta untuk menghubungi temannya yang ada di Jogja untuk mencarikan lampu badai. Namun hasilnya masih mengambang, karena temannya juga tidak tahu persis harga lampu badai. Jam 21.00 pun tiba, seluruh tim pun bergegas masuk ke dalam kereta dan menyusun barang bawaan selagi belum ramai. Setelah itu, kamipun tinggal menikmati setiap detik perjalanan kami menggunakan kereta ini.
Hari berikutnya, sekitar pukul 07.00 kami tiba di Stasiun Lempuyangan, molor sekitar 1 jam dari perencanaan. Kami pun segera bergegas menuju rumah nenek Desca di kawasan komplek dosen UGM untuk check list alat dan mengambil kendaraan (mobil men..) setelah beristirahat sambil menyantap makan dan selesai check list alat. Kami segera bergegas menuju SATUB, mahasiswa pecinta alam teknik UGM tempat yang kami jadikan base camp selama mengadakan operasional di kawasan Jogja. Tidak lama, kamipun sampai di SATUB, segera segenap penghuni sekretnya yang mirip ruko-ruko tak terpakai itu menyambut kami. Ternyata mereka sedang memasak donat-donat hasil uji coba. Dan kamipun dijadikan ‘tester’ dari masakan tersebut. Memang tidak seenak donat-donat di took, tapi berhubung kami lapar. Maka habis jugalah donat itu semua oleh kami. Setelah sekitar 1 jam mengobrol, kami beres-beres bawaan kami untuk diletakkan di sekret dan mandi (berhubung muka udah tebel banget sama debu). Setelah selesai mandi kami segera bergegas untuk pergi jalan-jalan menikmati kota Jogja dan berkunjung ke PA UGM lainnya. Setelah mencari makan, kami mengunjungi sekret UNISI sayang ternyata mereka sedang mengadakan job untuk fun rafting bersama orang-orang rektorat UNISI. Akhirnya kami pergi menuju sekret Palapsi. Namun sayang, sekretnya kosong yang setelah kami menghubungi anak palapsi, mereka sedang mengikuti acara fun rafting yang sama dengan acara unisi. Akhirnya kami pergi mengunjungi Pantha-Rei, pecinta alam fakultas filsafat. Di sana, kami disambut oleh penghuni sekret, pada walanya orangnya masih sepi. Tapi kemudian, sesepuh yang menyambut kami itu menghubungi anggotanya yang lain untuk datang ke sekret dan akhirnya perjamuan pun dimulai. Diawali kacang rebus dan jagung bakar, kemudian kacang goring, nasi dan akhirnya minuman pamungkas ‘ciu’yang harus dihabiskan dulu baru boleh pulang. Akhirnya asu dan imam berjuang menghabiskannya. Namun berhubung imam seorang mutan, hanya asu saja yang ‘kobam’ dan mulai ngelantur omongannya. Dan berakhirlah perjalanan hari kedua dengan asu yang kobam dan anggota lain kelaparan. Setelah kembali dari sekret Pantha-Rei, dan menuju satub acara dilanjutkan dengan evaluasi. Di sini, banyak evaluasi yang masuk dari senior Acil dan Gerry, evaluasi dari mulai kejelasan karom yang disepakati (antara asu dan imam) hingga pelaksanaany dan tugas tiap PJ yang dibahas habis2an. Selesai rapat evaluasi dan perencanaan baru sekitar jam 03.00 dini hari yang akhirnya menyebabkan semua anggota tewas. Segeralah anggota beristirahat karena pagi harinya akan dilanjutkan perjalanan menuju lokasi goa pertama, goa Cerme.
Perjalanan menuju goa Cerme dipandu oleh anggota satub, Koyot. Sempat beberapa kali nyasar karena Koyot sendiri belum pernah ke tempat tersebut, namun anggota yang lain sedang berhalangan dan Adoy (salah satu anggota satub) baru bisa menyusul sore harinya. Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 2 jam, akhirnya kami sampai di mulut goa cerma yang ternyata sudah menjadi lokasi wisata. Maka kami segera memulai kegiatan operasional setelah mengurus perizinan biaya masuk sebesar 2250 rupiah per orang. Gerry akhirnya memutuskan untuk tidak mengikuti kegiatan operasional dengan alasan menemani Koyot, yang hanya sendirian. Maka hanya kami berdelapan yang masuk dan mengikuti kegiatan operasional. Memasuki mulut goa Cerma, ternyata goa ini sudah cukup di pugar dengan pembangunan tangga menuju ke dalam lorong goa yang turun sektar 20 meteran. Kondisi goa yang sedang basah membuat kami harus berbasah-basahan sejak awal kegiatan. Kegiatan operasional di plot 3 jam, mulai pukul 13.00 hingga 16.00 hal itu dibuat dengan pertimbangan, kegiatan juga dimaksudkan untuk fotografi goad an dokumentasi perjalanan. Selama perjalanan di lorong goa, seluruh anggota tim dibuat terpesona dengan ornament-ornament karst dari goa cerma yang memang begitu indah. Stalaktit dan stalakmit, gordyn, mutiara goa, column semuanya tersusun secara alami sehingga membuat kami sangat menikmati perjalanan tersebut. Penelusuran kami tempuh cukup menantang, kami harus menaiki bukit batu dan juga turun melewati air terjun bahkan menyelam untuk melewati batas air yang saat itu sangat tinggi. Setelah melakukan eksplorasi sekitar 2 jam, sampai kami pada lorong goa yang kecil dan pendek, dengan ketinggian air yang hampir menutup kepala dan panjang lorong yang cukup panjang, tidak memungkinan kami untuk meneruskan penelusuran mengingat kami membawa kamera slr milik Tania. Akhirnya kegiatan penelusuran dihentikan dengan rasa kekecewaan karena tidak dapat menembuskan goa yang menurut cerita anggota PA lain sangat mudah untuk disusuri hingga tembus. Selama perjalanan rasa kekecewaan anggota ditebus dengan berfoto-foto ria. Selesai eksplorasi baru sekitar pukul 16.30. Tim penelusur segera mandi, kemudian packing alat serta mencheck listnya. Makanan yang direncanakan baru dimasak setelah keluar ternyata sudah disiapkan oleh Gerry dan Koyot yang tidak ikut menelusur. Jadi anggota yang lain sudah tinggal melahapnya saja. Sekitar pukul 18.00 Adoy tiba di lokasi kami yang masih melakukan packing alat. Tidak lama, packing alat selesai dan siap meluncur menuju pantai Parangendhog. Namun saat ingn memulai perjalanan ternyata salah satu motor yang kami bawa (Pulsar milik Philip, kerabat Tania) ternyata bannya mengalami kebocoran. Kebingunganpun menyeruak, karena di tempat seperti ini dan di waktu yang sudah menjelang malam, terbayang sulitnya mencari tempat tambal ban. Akhirnya Koyot dan Adhoy meluncur terlebih dahulu ke bawah untuk mencari tempat tambal ban. Ternyata tidak jauh dari lokasi terdapat tempat tambal ban yang sangat sederhana (parameter sederhana diambil dari peralatan pengisi angin ban yang hanya dari pompa ban sepeda). Setelah membetulkan ban selama kurang lebih 1 jam, tim segera melanjutkan perjalanan menuju Pantai Parangendhog. Medan yang ditempuh ternyata cukup ekstrim, dengan tanjakan yang sangat tinggi dan jauh. Untungnya kami memilii supir handal (mungkin bekas supir truk lintas Sumatra) yaitu si ‘mutant’ Imam. Medan yang sulit itu pun dilibasnya habis, padahal anggota yang menggunakan motor saja sudah kewalahan, apalagi mobil dengan jumlah beban yang lebih berat (berisi sekitar 5 penumpang dan barang-barang bawaan kami). Setelah sampai, tim segera melakukan tugasnya masing-masing yang sudah diatur di perencanaan sebelumnya. Sebagian membangun tenda dan check list alat, sebagian lagi memasak makanan. Setelah semua beres dan habis menyantap makanan. Sekarang saatnya evaluasi dan perencanaan yang baru selesai sekitar pukul 01.00 dini hari. Tim pun beristirahat, guna menyiapkan tenaga untuk memanjat tebing Parangendhog.
Pagi harinya, seluruh tim sudah siap untuk melakukan operasional memanjat. Pada tebing Parangendhog terdapat 3 area pemanjatan dengan perbedaan jenis tebing (artificial maupun sport) dan kesulitan. Lokasi pertama dari pintu masuk hanya memiliki sekitar 1-2 jalur pemanjatan. Sedangkan kami memutuskan untuk memanjat di lokasi 2 setelah sebelumnya Imam melakukan survey. Di lokasi ini ada 2 jenis tebing yaitu artificial dan sport yang masing-masing memiliki 1 jalur pemanjatan. Untuk jalur artificialnya tim pemanjatnya Harya, Imam, Asu, Reza, Acil dan begitupun untuk jalur sportnya. Lokasi tebing tepat mengarah ke laut yang membuat pemanjatan semakin seru saat sudah berada di top, karena dapat menikmati pemandangan laut yang sangat luas dan indah. Saat kami masih melakukan operasional, ada kelompok pecinta alam lain dari Kehutanan UGM, Silvagama yang juga melakukan kegiatan pemanjatan pada lokasi 3. Ternyata di lokasi 3 ada 2 buah papan nama, berisikan sebuah nama dari keluarga dan sahabat. Mereka adalah korban dari alam yang tewas setelah terjatuh dari tebing ini sekitar lebih dari 10 meter. Anggota Silvagama salah satunya menceritakan kronologis dari kecelakaan pemanjatan yang merenggut nyawa itu.
“Jadi, waktu itu udah selesai manjat, arep nge-clean tok. Nah iku sing nge-clean mulainya dari bawah. Waktu sampe di top, talinya disangkutin ngono wae nang watu. Waktu turun, watune patah. Jatoh dari 10 meteran.”, sambil menunjukkan batu berbentuk tanduk yang patah tersebut.
Kondisi cuaca yang terik dan posisi matahari yang langsung menyinari tebing, membuat kegiatan memanjat sempat dipending karena kondisi pemanjat yang sudah kepanasan dan capek. Akhirnya diputuskan untuk acara snacking dan minum buah terenak di dunia pada saat itu, kelapa muda. Para anggota dengan lahap menyantap snack dan hidangan utama yaitu kelapa hijau. Setelah selesai dan kondisi pemanjat kembali, maka kegiatan pemanjatan dilanjutkan kembali sampai sekitar pukul 16.00 yang kemudian dihentikan untuk makan dan packing serta check list alat dan kembali ke base camp. Lokasi base camp yang tidak terlalu jauh, membuat anggota dengan cepat sampai dan melanjutkan menuju landasan permainan paralayang yang berlokasi di belakang base camp untuk menikmati sunset. Dan saat tiba waktunya, sungguh seluruh lelah peluh, lenyap saat alam kembali menyentuh hati. Keindahan pantai Parangendhog hingga Parangtritis tersaji bak mutiara yang memantulkan keindahannya. Dan malam itupun kami tidur setelah menyelesaikan evaluasi dengan perasaan bahagia masih dapat melihat keindahan kecil dari dunia ini.
Esok harinya, kami bergegas untuk merapikan basecamp. Segala perlengkapan mulai dari tenda, matras dan lainnya segera kami pack ke dalam mobil. Selesai urusan di Parangendhog perjalanan segera kami lanjutkan ke pantai Siung yang berada sekitar 25 km lebih dari Parangendhog. Namun sepanjang perjalanan sungguh kembali tersuguh keindahan hutan jati sambil beberapa kali terhampar pemandangan pantai selatan Jogjakarta. Memasuki area Siung, segera sinyal di telepon genggam kami hilang. Karena memang di daerah situ belum terjamah sinyal operator manapun. Untuk mendapatkan sinyal kami harus keluar dari area pantai yang berjarak sekita 5 km atau mendaki bukit tertinggi di daerah pantai tersebut. Hari itu kami habiskan untuk bersantai melepas penat dan letih dengan menikmati deburan ombak sekaligus pemandangan sunset. Pagi hai telah menyapa, kami sudah siap dengan perlengkapan RC kami, bersiap untuk ‘mencicipi’ ketangguhan tebing di area pemanjatan tebing Siung ini. Kami memilih komplek H sebagai area pemanjatan kami. Teradapat 2 jalur sport di sana dengan tingkat kesulitan grade 10. Ada juga tebing untuk berlatih bouldering dari batu-batu karang di daerah tersebut. Setelah sekitar 4 jam kami puas memanjat di komplek H. Sekarang saatnya kami menjajal kegagahan tebing jalur kuda laut. Dinamakan jalur kuda laut karena jika melihat ke top dari tebing tersebut ada sebuah batu yang mirip dengan kuda laut. Hampir 2 jam kami menghabiskan waktu di sana. Selesai dengan kegiatan RC hari itu, kami kembali ke base camp di kedai panjat untuk packing perlengkapan kami. Tinggal 1 hari lagi jatah waktu kegiatan operasional kami dan tinggal kesunyian dan kegelapan Goa Jomblang yang masih menghantui kami.
Selesai dengan urusan packing dan pembayaran keperluan, kami langsung berangkat menuju daerah GunungKidul untuk menuju basecamp di gubuk di mulut Goa Jomblang. Perjalanan menuju GunungKidul cukup menyeramkan karena daerah tersebut yang masih minim penerangan dan listrik sekaligus ditemani kegelapan dari hutan yang kami lewati. Lepas dari suasana yang mencekam namun penuh dengan pacuan adrenalin. Kami tiba di basecamp Goa Jomblang, setelah mengurus perizinan ke Pak Brewok sang juru kunci goa tersebut. Kami diberi pesan untuk tidak terlalu lama melakukan eksplorasi di dalam goa karena aka nada keperluan pengambilan gambar untuk dijadikan film Hollywood. Mendengan hal tersebut, cukup membuat kami kaget. Setelah sampai di gubuk, segera kami membuat makanan yang sudah kami nantikan. Sambil ditemani gelak tawa dan canda khas kami yang membuat kedekatan di antara anggota semakin dekat. Selesai menyantap konsumsi dan evaluasi, hari itu ditutup dengan kegelapan. Pagi hari segera menyapa, paginya fajar menyambut kami menghilangkan rasa dingin semalam. Mengganti dengan kehangatan semangat di pagi hari. Segera kami mengerjakan job-list kami masing-masing. Dari membuat konsumsi, rigging, menyiapkan peralatan sampai mengambil dokumentasi foto. Jam 09.00 kami menyudahi makan pagi kami dan segera menuruni mulut goa yang besarnya hampir sekitar 50 meter tersebut. Melewati jalur A yang berada dekat gubuk secara bergantian Andre, Imam, Rusdi, Gerry turun. Anggota sisanya menunggu giliran eksplorasi. Segera tim pertama mnyusuri goa yang dipenuhi hutan purbakala tersebut menuju mulut goa untuk tembus ke goa Grubuk, salah satu mulut goa yang dilewati secara vertical juga. Peralatan kami simpan dekat mulut goa, karena tingkat kelembaban dan lumpur yang tinggi, kami mengantisipasi kotor atau rusaknya alat. Setelah menyusuri lorong horizontal kami segera sampai di aliran kali suci, sungai bawah tanah yang terus mengalir sejak goa ini terbentuk. Karakteristik goa jomblang ini berbeda dengan goa-goa di jawa barat yang tergolong kecil. Di sini kami bisa menemui lorong sebesar lorong bawah tanah dan chamber sebesar ruangan ballroom. Sungguh takjub dan terkesima, apalagi setelah melihat ornament batu kalsit putih, tepat di bawah mulut goa grubuk. Batu ini yang menjadi cirri khas dari goa jomblang itu sendiri. Setelah cukup mengambil dokumentasi, kami segera naik untuk berganti tim penelusuran dengan tim anggota yang lain. Sekitar pukul 18.00 seluruh anggota selesai melakukan penelusuran dan segera berbenah diri dan membereskan peralatan untuk di check list dan kembali pulang menuju base camp utama di Satub.
Dari sekian kisah perjalanan operasional di KAPA, bukan menjadi focus utama untuk menjadikan anggotanya seorang pencinta alam professional tanpa mengesampingkan standar operasional prosedur. Namun, setiap perjalanan anggota tersebut menjadikan mereka orang yang tumbuh besar menjadi manusia yang terus menghargai hidup, dunia dan Tuhannya karena lewat alam mereka diajarkan untuk selalu mengucap syukur kepada-Nya.
Gua Cerme
Gua Jomblang
Salam KAPA,
K-286-11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar